Menyamakan Perspektif Gender, Anak dan Disabilitas dalam Jaringan JLAPK2S

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada yang menarik dalam agenda pertemuan Jaringan Layanan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S) yang diselenggarakan pada Kamis (10/2) bertempat di Yayasan KAKAK. Jaringan yang beranggota beberapa lembaga/organisasi dan komunitas ini, antara lain Yayasan YAPHI, Paguyuban Sehati, SPEK-HAM, KAKAK,  MHH Aisyiyah, Fatayat NU, LKBHI UIN Raden Mas Said,  Peradi Sukoharjo, dan WKRI  melakukan penyamaan perspektif terkait isu yang diusung bersama yakni penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Vera Kartika Giantari, pegiat isu perempuan dalam diskusi menyatakan bahwa sebagai seorang manusia terkadang kita tidak selalu melihat persoalan dengan mata kita sendiri namun juga dipengaruhi oleh kaca mata yang kita pakai yang terbentuk dan dibentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar.

Salah satu contohnya adalah kaca mata patriarki yang melihat golongan gender tertentu lebih tinggi dari golongan gender yang lain. Sehingga setiap individu yang memakai kaca mata ini pun selalu menggunakan pola pikir patriarki di segala isu kehidupan baik dalam agama, sosial budaya, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Sehingga sebagai contoh ketika saat ini ada banyak yang menyalahkan agama tertentu karena dinilai sangat patriarki justru sebenarnya yang salah bukanlah agama namun yang menjalankan agama tersebut yang masih menggunakan kaca mata patriarki.

Pada segi hukum khususnya aparat penegak hukum pun ketika menggunakan kaca mata patriarki maka akan terlihat bagaimana mereka memperlakukan laki-laki atau perempuan ketika melakukan pemeriksaan. Sedangkan dari segi politik, misalnya politik pembangunan. Sudahkan perempuan menjadi pertimbangan jika pemerintah akan melakukan pembangunan? Ketika ada jalan rusak kemudian akan ada pembangunan, dasarnya apakah pemikiran “jika jalan rusak, maka akan berisiko untuk ibu hamil” ataukah hanya berdasar pada pemikiran “agar jalur ekonomi dapat lancar.”

Dari segi ekonomi, apakah banyak pekerja yang memberikan upah kepada pekerja laki-laki lebih tinggi dari pada upah kepada pekerja perempuan dengan alasan bahwa perempuan hanya pencari nafkah tambahan sehingga asumsinya tidak membutuhkan upah yang besar? Yang perlu diingat adalah kaca mata patriaki tidak hanya dipakai oleh laki-laki namun sekarang pun banyak perempuan yang juga memakai kaca mata ini

Perbedaan UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak dalam Batasan Umur

Shoim Sahriyati , Direktur Yayasan KAKAK sebagai pemantik diskusi terkait perspektif anak lebih menyoroti masih adanya perbedaan antara UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak dalam hal batasan umur anak. Dalam UU perlindungan anak hanya disebutkan bahwa anak adalah usia 0 -18 tahun sedangkan dalam konvensi hak anak terdapat klausul lain. Dalam konteks pendampingan anak, menurutnya ada empat hal yang harus dilakukan: Memberikan informasi/edukasi, rehabilitasi, psikososial dan pendampingan di ranah hukum

Yayasan KAKAK menurut Shoim sangat mengapresiasi korban atau keluarga korban yang tetap memilih untuk berproses secara hukum. Hal ini karena apabila diproses hukum maka bukan saja menyelamatkan korban secara langsung tetapi juga menyelamatkan anak-anak yang lain. Hal ini karena apabila pelaku masih berkeliaran maka akan membahayakan anak-anak yang lain. Apabila korban memilih untuk jalan damai dengan pelaku, apalagi sampai menikah dengan pelaku maka Yayasan KAKAK akan melepas pendampingan karena tidak sejalan prinsip Yayasan KAKAK.

Memahami Isu Disabilitas

Edy Supriyanto, Direktur Sehati dalam kesempatan diskusi yang sama, juga memberikan perspektif tentang isu disabilitas. Menurutnya memahami isu disabilitas tidak jauh berbeda dengan pemahaman tentang konsep isu perempuan. Jika isu perempuan dipengaruhi oleh kaca mata patriaki maka isu disabilitas dipengaruhi oleh kaca mata kenormalan. Jika kaca mata patriarki meninggikan gender tertentu dan merendahkan gender yang lain, kaca mata kenormalan pun memandang bahwa orang yang dinilai “normal” lebih tinggi dari orang yang dianggap “tidak normal”

Normal seringkali dipahami hanya sebatas yang awam pahami di masyarakat, misalnya cara makan yang normal adalah menggunakan tangan kanan, jika makan langsung menggunakan mulut maka dinilai tidak normal. Bahkan dalam budaya Jawa makan menggunakan tangan kiri pun juga dinilai tidak normal. Lain lagi, orang yang normal adalah orang yang berbicara dan berkomunikasi dengan menggunakan mulut, jika menggunakan tangan atau Bahasa isyarat lainnya maka akan mendapat julukan tidak normal.

Edy menambahkan bahwa setiap orang berpotensi untuk menjadi penyandang disabilitas atau difabel entah karena usia atau karena suatu kejadian.  Setidaknya ada lima pertanyaan untuk mengidentifikasi apakah seseorang mengalami disabilitas : Apakah anda masih bisa melihat jika tanpa menggunakan kacamata? Apakah anda mengalami kesulitan untuk menaiki anak tangga? Apakah anda mengalami kesulitan untuk merawat diri? Apakah anda mengalami kesulitan mengingat nama? Apakah Anda mengalami kesulitan mendengar? Mirisnya, hingga hari ini masih ada pandangan bahwa penyandang disabilitas kerap kali hanya dinilai sebagai objek penerima bantuan sosial. (dorkas febria/astuti)