Catatan YAPHI Atas Kasus-Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan Anak

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Di awal tahun  2022, publik dikejutkan dengan pernyataan seorang penceramah agama bahwa menceritakan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah aib. Pernyataan kontroversial tersebut mendapat reaksi bermacam. Ada yang setuju dan banyak yang menentang. Seperti kita ketahui, perempuan sangat rentan menjadi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan  tahun 2021 menunjukkan data bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat 6.480 kasus KDRT, yang dalam persentase 50%  atau sekira 3.221 merupakan kasus yang dilakukan oleh suami kepada istri.

Beberapa alasan istri tidak melaporkan KDRT yang dialaminya disebabkan oleh : Masih kuatnya budaya patriarki bahwa istri harus  manut kepada suami yang memiliki tugas mendidik isti, KDRT masih dipandang aib yang harus ditutupi, korban KDRT tidak tahu hendak ke mana mereka melapor, secara finansial istri mengalami ketergantungan ekonomi.

Sebelumnya, di akhir tahun 2021 publik  dihenyakkan dengan terungkapnya kasus perkosaan yang dilakukan oleh Herry Wiryawan, pengasuh pondok pesantren di Bandung yang membawa korban beberapa anak asuhnya. Publik juga diramaikan dengan kasus serupa di sebuah pondok pesantren di Sumatera Selatan, kemudian beruntun kasus pemerkosaan oleh kuli pada seorang anak di Tangsel, perkosaan oleh ayah kandung kepada anak berusia lima tahun di Maluku. Begitu kelu setiap kali membaca media yang memberitakan tentang para perempuan dan anak korban kekerasan seksual.

Saat pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung dua tahun ini dengan segala konsekuensi dan dampak terutama yang dirasakan lebih berat kepada kelompok masyarakat rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat marjinal lainnya, membawa kepada kenyataan makin tingginya angka kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Selain adanya ancaman learning loss yakni hilangnya pengetahuan dan kemampuan siswa baik secara spesifik atau umum, yang dipengaruhi berbagai faktor. Istilah ini sering diartikan sebagai kemunduran secara akademis yang berkaitan dengan kesenjangan yang berkepanjangan. Ancaman terhadap rasa aman dari kekerasan adalah hal yang seharusnya kita perhatikan pada anak-anak. Memberikan ruang aman bagi mereka adalah memenuhi haknya sebagai manusia. Sayangnya,  banyak orang dewasa yang belum memahami hal demikian.

Kehadiran Negara dalam hal pemenuhan rasa aman terutama bagi korban masih perlu dipertanyakan terus-menerus. Terlebih itikad baik mereka untuk memenuhi hak korban. Sayangnya, tidak semua mereka yang berada dalam posisi pemangku kebijakan paham akan tugas dan kewajibannya.

Sampai saat ini anak dan perempuan dikategorikan sebagai kelompok rentan. Bukan saja tanpa alasan, hal ini merujuk kepada jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun. Fakta ini tentu menjadi hal yang cukup memprihatikan mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang perlindungan terhadap anak dan perempuan, mengesahkan berbagai undang-undang yang mengatur tentang hal serupa, serta membentuk lembaga-lembaga negara yang berfokus pada perlindungan perempuan dan anak baik di tingkat pusat hingga daerah.

Namun di lain sisi menunjukan bahwa banyaknya jumlah kasus yang terjadi pun seringkali berbanding terbalik dengan performa banyak pihak dalam memberikan penanganan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seperti yang sudah tertulis di atas.

Yayasan YAPHI selama tahun 2021 mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebanyak 5 kasus yang terdiri 1 atau 20 % mengalami kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dialami oleh perempuan dan 4 atau 80 %  kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak.

Bahwa dalam melakukan pendampingan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih banyak kendala-kendala yang dihadapi. Adapun persoalan-persoalan dan tantangan yang dihadapi ketika melakukan pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak dan disabilitas  yang ada antara lain :

-   Penanganan masih bersifat parsial atau belum terintegrasi

-  Tidak adanya perspektif dari pemangku kepentingan di Kabupaten Sukoharjo

-  Tidak adanya SOP dalam melakukan penanganan kasus kekerasan misalnya masih ada kesulitan dalam melakukan visum (korban harus bayar), korban masih terkesan dilempar-lempar ketika melapor, dan korban melalui proses yang panjang  dan melelahkan.

-  Adanya aturan kebijakan  tetapi tidak implementatif.

Sementara itu, pada aspek hukum pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan baru. Dikutip dari hukumonline.com, bahwa tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap merugikan secara fisik dan psikis. Bahkan perempuan dan anak yang menjadi korban malah semakin terpojokkan ketika berhadapan dengan hukum. Untuk itu terbitnya Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana bisa menjadi angin segar bagi penegakan hukum, khususnya bagi saksi dan korban dalam perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.  Aturan ini diharapkan bisa memperkuat posisi saksi dan  korban.

Di Provinsi Jawa Tengah, seperti dilansir solopos.com, menurut catatan Lembaga LRCKJHAM, menyebut ada sekitar 120 perempuan yang menjadi korban kekerasan sepanjang tahun 2021 dan 89 di antaranya adalah korban kekerasan seksual.

Salah satu yang terjadi di Kabupaten Sukoharjo, kasus -kasus anak dan perempuan bervariasi mulai dari KDRT, anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami kekerasan seksual baik yang dilakukan oleh pelaku dewasa maupun pelaku anak. Kabupaten Sukoharjo sudah memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender Dan Anak yang menjadi dasar pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam mengupayakan perlindungan terhadap anak dan perempuan.

Hanya saja dalam peraturan tersebut belum diatur secara jelas terkait dengan upaya pencegahan serta terkait dengan alur dan pembagian peran lintas sektor dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Sehingga hal ini berdampak terhadap penanganan kasus yang masih belum terintegrasi dengan baik yang pada akhirnya berdampak pada kualitas dan efektivitas layanan terhadap korban kekerasan.

Berdasarkan hal tersebut sangat diperlukan kolaborasi lembaga-lembaga yang juga fokus terhadap pendampingan perempuan, anak dan disabilitas  korban kekerasan untuk dapat duduk bersama melakukan advokasi kebijakan kepada pemerintah dalam rangka memberikan layanan terhadap perempuan, anak dan disabilitas korban kekerasan

Yayasan YAPHI Pada tanggal 27 Agustsus 2021 dan 10 September 2021 menginisiasi dengan mengajak lembaga/organisasi/komunitas dan organisasi penyandang disabilitas yang fokus terhadap pendampingan perempuan, anak dan disabilitas  korban kekerasan khususnya di wilayah Kabupaten Sukoharjo  membentuk sebuah jaringan masyarakat sipil yang bernama “Jaringan Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Kabupaten Sukoharjo” atau dapat di singkat JLPAK2S  untuk melakukan advokasi bersama kepada pemerintah Kabupaten Sukoharjo  supaya dapat memberikan layanan terhadap Perempuan, anak dan disabilitas korban kekerasan. 

JLPAK2S telah melakukan beberapa kali pertemuan koordinasi untuk meramu beberapa langkah advokasi dengan berbagai strategi yang akan dilakukan dimulai dengan penyamaan perspektif di antara anggota. Ke depan, jaringan juga akan melakukan diskusi tematik sebelum melangkah ke tahap berikutnya seperti diskusi terfokus atau misalnya akan melakukan dengar pendapat dengan anggota dewan dan pihak terkait.  (Dunung Sukocowati/Astuti)