Sejarah Politik Kekerasan Seksual di Indonesia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada hal menarik dalam helatan diskusi LettsStalk _Sexualities pada minggu ketiga Desember 2021 terkait sejarah politik kekerasan seksual di Indonesia. Menghadirkan Ita F. Nadia menjadi salah seorang narasumber, mengatakan bahwa saat ini dirinya melakukan inisiasi memfokuskan penggalian kembali sejarah secara kolektif dengan melakukan recalling, dengan mendokumentasikan sejarah dengan menuliskannya. Dalam temuannya, Ita menyatakan bahwa ketika bicara sejarah maka berbicaranya akarnya. Menurutnya ada politik internasional yang diinternalisasi.

Ita mengajak para peserta diskusi melihat sejarah tidak terlalu dalam dahulu, tetapi di sekitar tahun 1963, yakni adanya kekerasan seksual yang menimpa perempuan keturunan Tionghoa di Tangerang Selatan. Pada tahun yang sama kekerasan seksual perempuan keturunan Tionghoa juga terjadi di Bandung. Di Zaman  penjajahan Jepang, pada saat yang sama juga terjadi kekerasan seksual di Korea, Jepang, Philipina. Peristiwa 65 kemudian dianggap hanya remeh-temeh saja, bahkan oleh beberapa aktiviis.

Padahal sesungguhnya telah terjadi perubahan geopolitik dengan menggunakan seks perempuan sebagai terror. Sebagai bukti, peristiwa 30 September 65 ditulis oleh seorang seajaran dunia sebagai perubahaan geopolitik. Pada saat itu terjadi pula penghancuran organisasi perempuan atau disebut gender rezim. Sesudah 65, kemudian muncullah ‘Ibuisme Negara’, yakni sebuah paham yang menempatkan kaum perempuan sebagai pekerja domestik tanpa dibayar demi mendukung kapitalisme.

Politik otoritas Orba yakni tidak hanya dibagikan kontrak sosial, kontrak politiksaja tetapi juga kontrak seksual. Orde baru mengontrol imajinasi warganya. Pada tahun 1965 , Wirahadikusuma mengeluarkan perintah agar tidak boleh ada koran kecuali Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang menulis tentang kekejaman Gerwani. Menurut Julia Suryakusuma dalam bukunya menyatakan Gerwani dikonstruksikan sebagai perempuan jalang yang menyilet-nyilek kemaluan para jenderal. Dharma Wanita menjadi organisasi replika negara.

Pengalaman Ita bersama Komnas Perempuan pada tahun 2000 saat ke Poso ibu-ibu diperiksa vaginanya. Lalu ada simbolik vagina yakni simbolik patriarkhi. Simbolik patriarkhi terjadi saat pemerintahan Soeharto dengan penyebutan “Bapak Pembangunan”. Menurut Ita, pendekatan di Orba adalah Otoritas Koersif. Otonomi tersebut di antaranya adalah terjangkit dengan hegemoni maskulinitas. Kemudian seksisme diinstitusikan menjadi narasi kebencian kepaada tubuh perempun. Kekerasan seksual terjadi di balik sebuah ikatan perkawinan. Lalu pernikahan dianggap upaya selamat dari zina, dengan demikian politik agama masuk.

Dampak kekerasan seksual sendiri adalah merusak korban, jejak digital sepanjang hayat, Femicide yang tembus pandang dan merusak perilaku normalnya.