Mengupas Polemik Permendikbudristek Pencegahan Kekerasan Seksual

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada dua pendapat yang hadir bersamaan terbitnya Permendikbudristek 30 tahun 2021. Mereka yang pro menilai bahwa kehadiran peraturan tersebut sebagai bentuk kehadiran negara untuk perlindungan dan bentuk tanggung jawab dalam kasus kekerasan di kampus. Namun bagi yang kontra permen ini dianggap memiliki kelemahan yakni tidak adanya cantolan hukum dan terkait dengan landasan norma agama yang seharusnya menjadi prinsip pencegahan kekerasan seksual, dan hal itu tidak tercantum dalam permendikbud ini. Hal lain bagi mereka yang kontra adalah terkesan melegalkan hubungan seksual di luar institusi pernikahan. Benarkah demikian?

Fajri Nursyamsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menanggapi dalam siaran live akun Instagram @hukumonline bahwa berbicara polemik adalah hal biasa sebab lahirnya suatu kebijakan mengikat banyak orang dan kepentingan. Di satu sisi positif, bahwa adanya kebijakan mengikat kita. Dan sebagai kelompok masyarakat sipil tidak acuh tak acuh. Sehingga munculnya pro kontra ini perlu dikelola dengan baik agar sikap kritis perlu dijaga.

Terkait syarat formal dan material, Fajri melihat dan mengupas dari berbagai pradigma. Aspek formal dari permen ini sebagai produk kebijakan sebagai  pembentukan pengaturan perundang-undangan yakni UU nomor 12 tahun 2011.  Serta Undang-Undang  11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.  Tetapi ketika bicara secara formal berarti kita melihat, peraturan tersebut disahkan oleh kewenangan dan melalui prosedur. Ia disahkan oleh Menteridikbudristek, dan sudah melalui prosedur, prioritas, perencanaan, pembahasan, dan pengesahan. Proses ini melibatkan berbagai kementerian minimal Kementerian Hukum dan HAM.

Mengapa menteri berwenang?  Jika dibaca menteri tidak berwenang jika tidak ada cantolannya. Pembentukan peraturan yang melekat pada pejabat itu bisa dilakukan, bisa lahir karena kewenangannya, Fajri merujuk Undang-Undang Kementerian Negara, salah satu tugas kementerian adalah membuat satu kebijakan, fungsi penetapan dan kebijakan di bidangnya. Suatu kebijakan salah satu bentuknya adalah peraturan. Merumuskan, membuat, menetapkan dan melaksanakan kebijakan itu salah satu fungsi. Alasan kedua lebih riil, Peraturan Presiden (Perpres)  nomor 68 tahun 2021, pasal 2 ayat 2, yakni pemberian persetujuan presiden terhadap rancangan peraturan menteri itu dalam pelaksanaan penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Dalam Undang-Undang 12 tahun 2011, tercantum istilah Peraturan Menteri, pasal 8 ayat 1. Mulai dari UUD sampai Perda, di pasal 8 disebut peraturan menteri (Permen). Hal tersebut sudah memenuhi.

Secara material  permendikbudristek mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Jadi tidak  berlaku di tempat kerja, stasiun kereta api misalnya, dan sebenarnya itu prosedural maksudnya adalah sifatnya menjalankan suatu tugas atau arahan atau SOP, bukan di level Undang-Undang yang sifatnya asbtrak yang mengatur pidana. Ini panduan untuk satgas untuk mengawal permendikbudristek ini. Kalau kasus akhirnya masuk di kepolisian maka menggunakan delik pasal yang ada di KUHP.  Tidak ada permasalahan  tapi semangatnya adalah progresif. Hal baru dan terobosan sebab prinsip  yang digunakan adalah kepentingan terbaik untuk korban. Itu yang hilang sekarang dalam keadilan hukum yakni keadilan dan kesetaraan gender.

Prinsip aksesibilitas bagi difabel dalam permendikbudristek ini adalah jaminan pencegahan dan jaminan ketidakberulangan. Prinsip ini yang harus dikawal sebab menentukan efektivitas Permendikbudristek. Dan tidak ada persoalan baik formal dan material.

Pasal 5 ayat 2 yang dinilai menimbulkan makna legalitas perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan, Fajri memaknai argumentasi legalitas zina menggunakan argumentasi berkebalikan. Yang hilang dari argumentasi ini kalau mau konsep ini maka kita harus berada dalam jalur yang sama dan lingkup yang sama. “Perumpamaannya, kalau membahas pertandingan sepak bola ya konteksnya pertandingan sepakbola. Kalau olah raga tinju, maka memukul jadi boleh dong, tetapi kalau konteks di luar tinju ya tidak boleh,”ujar Fajri. Ia mengingatkan bahwa permendukbudristek ini adalah pencegahan dan penanganan, yang harus tetap digunakan karena ini peraturan spesifik, bukan abstrak.  Terkait itu ketika bicara mengenai consent atau persetujuan, bagi Fajri konsep legalisasi ini jauh dan melebar interpretasinya.

Konteks seksual dalam konteks kekerasan ini sangat spesifik  dalam pasal 5 ayat 1, 2 dan 3, memuat tentang apa yang dikatakan dengan kekerasan, mengapa perlu diatur dalam peraturan ini. Area melindungi korban dalam konteks kekerasan dengan pelaku timpang posisisinya, maka peran negara harus ada di sini, karena tindakan kekerasan itu selalu menempatkan pelaku dan korban timpang. Faktanya korban takut melapor, bahkan dianggap tindakan kekerasan tersebut bukan tindakan yang salah karena ada ketimpangan. “Agar tindakan sejajar lagi maka harus ada dorongan dan dorongan itu dari negara melalui peraturan agar posisi sama dan di level inilah penegakan hukum berjalan. Kalau tidak ada, maka korban akan selalu dirugikan. Dia harus didorong sampai level begini baru kemudian keadilan itu ada, akhirnya bisa adil,”terang Fajri lagi.

Terkait konsep persetujuan korban basisnya adalah penghargaan/pengakuan bahwa seseorang punya harga diri/martabat/dignity, yang harus diambil sendiri keputusannya dan yang tidak bisa dipengaruhi orang lain. Seseorang harus bisa mengontrol diri sendiri apalagi tubuhnya sendiri dan seseorang bisa mengambil keputusan atas dirinya sendiri. Sehingga adanya persetujuan memaknai bahwa seseorang bisa mengambil keputusan atas dirinya sendiri seperti tercantum pasal 5 ayat 3 tentang persetujuan lebih rijit yakni tidak dalam tekanan, atau pengaruh tertentu. Pasal itu tidak dalam kontek seksual yang lebih luas, sebab ini bukan delik pidana, ini prosedur bagi satgas untuk mengidentifikasi. Jadi Permendikbudristek ini seperti panduan untuk membedakan yang memudahkan, dengan tujuan untuk menyetarakan, dan negara harus mendukung korban. Maka tugas permendikbudristek selesai ketika proses hukum berlanjut.

Bagaimana proses pembuktiannya dengan persetujuan? Soal pasal 5, justru dengan konstruksi ayat yang detail, pasal 5 ayat 3 relatif membantu pelaksana di lapangan yang tidak berlatar belakang hukum untuk bisa mengurai cerita seperti apa, terutama dengan persetujuan, pertanyaan kepada korban, bagaimana situasi dan kondisi. Persetujuan dianggap tidak sah jika usia belum dewasa, dan mengalami situasi dengan ancaman.

Penegakan hukum secara umum belum adil bagi korban, sebab kasus kekerasan sedikit dengan tidak ada, itu adalah dampak posisi yang tidak setara.  Penegakan hukum tidak bisa dilakukan sebelum ada kesetaraan maka perlu dukungan yang mengantarkan proses ini ke penegakan hukum supaya ada penyetaraan kondisi, mendorong keinginan melapor,  mendorong bersaksi, melindungi agar kriminal tidak memiliki ruang serta agar ada penegakan keadilan, karena konteksnya keadilan prosedural belum terjadi.

Bagi kelompok rentan dengan ketakutan berlapis ada hambatan untuk menyampaikan kasusnya. Beberapa korban adalah penyadang disabilitas mental  danTuli. Mereka mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan kesaksian dan hal itu  butuh keberanian.

Data dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI),  80% lebih kasus tidak berlanjut, bukti bahwa kurangnya penegakan  hukum dengan alasan tidak cukup bukti, kesaksian sulit dipahami, serta tidak akses. Maka salah satu prinsip di permendikbudristek ini adalah memberikan aksesiblitas, mereka yang takut melapor akan di-support dengan adanya permen ini, hingga kesetaraan menjadi sangat penting.

Permendikbudristek Tidak Mencerminkan Nilai Agama dan Pancasila?

Menurut Fajri, yang namanya norma, ada norma hukum, dan susila yang sifatnya abstrak, dalam arti selain norma hukum ada yang tertulis. Pembuktian norma hukum juga tidak membatalkan norma agama dan Pancasila, bahkan mereka saling melengkapi. Jadi ada nilai norma, nilai dalam norma agama dan susila yang menjiwai norma hukum. Meski tidak dituliskan secara langsung, tidak bisa menghapuskan nilai agama dan susila. Fajri memberi contoh misalnya ketika kita main ke taman. Di taman tidak ada tulisan membuang air besar, tetapi kita lihat ada tidak yang buang air besar di sana? Tidak ada. Kenapa? Karena malu. Itulah norma susila bekerja, jadi tidak usah dituliskan secara tegas oleh penguasa di situ untuk melarang buang air besar. Tetapi setiap manusia punya nilai susila dan agama dalam dirinya sehingga dia tidak melakukan hal memalukan dengan buang air besar. Fajri kembali memberi contoh misalnya peraturan di Undang-Undang Lalu Lintas, di sana kewajiban menggunakan helm, tertulisnya wajib menggunakan helm, tidak ada tulisan wajib menggunakan pakaian lengkap.

Dalam norma hukum ada kepentingan publik yang dilindungi sehingga penentu kebijakan/penguasa memastikan itu perlu terjadi. Tapi hal lain di level agama dan di level susila tidak terhapuskan norma hukum itu karena melekat pada nilai-nilai. “Saya pikir itu yang keliru dan tidak perlu khawatir, mungkin ini harus disebarkan secara masif melalui pelajaran misalnya atau sebuah acara keagamaan. Dengan hadirnya permen ini sudah mencantumkan nilai-nilai agama karena agama melarang kekerasan seksual dan perbuatan zina,” jelas Fajri.

Terkait apakah ada sanksi jika kampus tidak menjalankan atau tidak membentuk satgas yang ada di aturan itu? Fajri menjawab kalau melihat pada konteks sejauh ini pada pemberitaan, Kemendikbudristek ingin memastikan itu terjadi, sanksinya administratif kepada kampus, bahkan konkritnya katanya mau masuk ke penurunan akreditasi atau penurunan jadi skema punishment spesifik di lingkup perguruan tinggi. Namun Fajri berpendapat, karena peraturan ini baru dikeluarkan, maka pendekatan yang dilakukan adalah reward dan sosialisasi, artinya yang melaksanakan diberi reward.

Permendikbud ini mencoba menaikkan posisi korban terhadap pelaku sehingga perguruan tinggi  memiliki dasar yang kuat agar mendukung posisi kesetaraan ini terjadi, beberapa kampus mulai percaya diri dengan membentuk satgas dan menerima aduan, tinggal PR-nya  adalah jembatan antara permendikbudristek dan penegakan hukum, bagaimana kasus-kasus mulai bermunculan dan masuk dalam penegakan hukum. Jembatan selanjutnya RUU-PKS  yang sekarang bernama RUU-TPKS, dan hal ini sangat mendukung di perguruan tinggi. Di tingkat nasional memunculkan delik yang nyambung dan bisa tercermin di RUU-TPKS.

Permen ini memerintahkan membuat satgas, namun apa bisa nyambung ke kepolisian hingga melakukan sampai penegakan hukum? Atau administrasi saja?

Dalam penanganan kasus di perguruan tinggi difasilitasi oleh satgas sampai ke penegakan hukum tetapi dengan prinsip atas pesetujuan korban dan menjadi catatan adalah tidak kemudian menjadi kriminalisasi kedua, itu yang didahulukan. Intinya kalau masuk penegakan hukum berbasis persetujuan korban. Meski dalam pelaksanaan sepenuhnya ke penegak hukum dan difasilitasi tetapi harus berbasis ke persetujuan korban.

Fajri mengakui terkait permen ini bukan hal aneh jika ada gap pemahaman; di satu sisi  proses belum partisipatif dan transparan, ada pembaruan dan terobosan yang belum dibicarakan di publik. Peran pembentuk kebijakan adalah menyebarluaskan dan membuat permen ini mudah dipahami dan bahkan ia usul permendikbudristek dijadikan infografis. Ini artinya jangan dikasih draft tapi pemahamannya, bisa dibuat alur atau contoh kasus yang mudah dipahami masyarakat. Jangan sampai pembentuk kebijakan berbicara kok masyarakatnya tidak mengerti atau tidak paham. Sosialisasi itu penting dan bisa dilakukan di media sosial : Instagram atau melakukan kerja sama dengan lembaga lain untuk melaksanakan hal itu, dengan menjalankan sistem dengan baik. Sistem tersebut dibangun dan dijalankan berulang sampai menunjukkan keberhasilan dalam hitungan bulan, tahun, dan konsisten dijalankan. “kalau bisa piloting, lalu beri reward ke kampus-kampus. Jangan bicara punishment dulu. Jangan marah-marah dulu, tapi kita konsolidasi dulu. Permendibudristek sudah berlaku dan instruksikan untuk diberlakukan,” pungkas Fajri. (Astuti)