Mitigasi Risiko Menghadapi Gelombang ke-3 COVID-19

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dokter Riris Andono Ahmad, MPH, PhD, Pengurus Pusat Kagama menyatakan bahwa Indonesia menorehkan prestasi karena sasaran vaksinasi sudah menembus lebih dari 100 juta dan sudah mendekati 50% dari jumlah penduduk. Negara Singapura sudah mencapai angka 80% tapi kondisinya saat ini cukup gawat sebab ada lonjakan cukup signifikan.

Negara Eropa seperti Jerman saat ini juga kepayahan. Kemudian ada pertanyaan, mengapa vaksin tidak bisa dijagain untuk membendung? Sebab durasi imunitas pendek, kurang dari satu tahun, efikasi vaksin tidak 100%, varian Delta menyebabkan target cakupan vaksin perlu ditingkatkan dan varian Delta menurunkan efikasi vaksin. Sedangkan saat ini ada 65% pemakai Sinovac. Saat ini ada isu varian baru yang penyebarannya jauh lebih tinggi yakni 1 dibanding 6,5 kasus baru. Diperlukan 85% angka kekebalan di dunia jika ingin bebas, maka efikasi vaksin bisa diturunkan.

 

Riris menambahkan bahwa mengapa vaksin tetap diperlukan sebab vaksin menurunkan risiko penularan, vaksin mengurangi risiko keparahan dan kematian, tekanan terhadap layanan kesehatan menurun, penularan bisa lebih bisa dikendalikan. Gelombang 3 mungkin terjadi karena adanya mutasi virus. Mutasi virus adalah hal alami dan secara garis besar tidak berbahaya tetapi ada satu titik yang menyebabkan dampak serius. Saat ini varian Delta Plus sudah ada di Malaysia.

 

Beberapa hal yang bisa diringkas adalah bahwa Herd Community sulit terjadi, sebaran vaksin tidak merata secara global, mobilitas tetap terjadi, mutasi virus terjadi dari waktu ke waktu. Kemungkinan evolusi lambat, virus menjadi lebih mild. Lalu kapan gelombang ketiga akan terjadi? Jawabnya adalah ketika mobilitas musiman terjadi yakni di libur akhir tahun, lebaran,Idul Adha, long weekend, kesadaran masyarakat untuk 3 M menurun, imunitas populasi mulai turu, varian baru masuk ke Indonesia dan kapasitas 3T tidak dijaga dengan baik.

 

Lalu apa strategi terbaik untuk mengelola situasi? Yakni mengubah mindset bahwa pandemi bisa segera berakhir, mengubah respon pengendalian dari respon bencana mejadi respon programatik, merencanakan kapasitas lonjakan kasus : diagnosis, shelter, tempat tidur, O2 dan rujukan., mengembangkan strategi promosi kesehatan dan komunikasi risiko yang sensitif budaya, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko individu. (Astuti)