Berbagi Praktik Baik YAPHI dalam Penanganan Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Bersama JKLPK

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pendampingan terhadap anak dan perempuan  korban kekerasan penting dilakukan, sebab penyelamatan bagi mereka sangat berarti untuk kelangsungan hidupnya. Meski payung hukum dan berbagai kebijakan telah banyak ada, namun harus diwujudkan dengan realisasi perlindungan. Termasuk bagaimana memanfaatkan kebijakan sehingga tidak terulang lagi peristiwa kekerasan. Pendampingan juga untuk meminimalisir trauma, serta memutuskan rantai, korban tidak menjadi pelaku. Demikian dikatakan Haryati Panca Putri, Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI dalam diskusi pendampingan korban kekerasan pada anak dan perempuan bersama Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), akhir Oktober 2021.   

Menceritakan tentang pengalamannya dalam mendampingi korban, Dunung Sukocowati penanggung jawab advokasi Yayasan YAPHI mengatakan hal pertama yang harus dilakukan adalah asesmen kebutuhan, yakni sesuai kebutuhan korban apakah akan membuat laporan, atau mengakses layanan kesehatan. Pada setiap kasus kebutuhannya berbeda-beda, intinya semua dikembalikan kepada korban. Pada suatu kasus, jika korban yang ditolong tidak harus ke rumah sakit  atau korban butuh penanganan, yang pertama ia lakukan adalah menangani trauma psikisnya.

Korban kekerasan terkadang mendapatkan intimidasi dari keluarga pelaku berarti korban butuh rumah aman atau butuh pemulangan atau reintegrasi sosial. Yang dilakukan pendamping untuk memenuhi kebutuhan korban, pendamping  berpikir bahwa korban harus dibawa ke rumah sakit. Asumsinya jika ia tidak dibawa, dia akan mati. Yang terjadi ternyata korban tidak nyaman dirawat di sebuah rumah sakit di Solo dan korban lebih nyaman bersama keluarganya di Jatim. “Kami membawa korban ke rumah sakit yang deket dengan keluarga di wilayahnya. Kebutuhan satu kasus berbeda dengan yang lainnya. Itu yang harus dipahami oleh pada pendamping,”terang Dunung.

Dunung menangani kasus yang terjadi di sebuah kota. Peristiwa KDRT terjadi di 2017. Korban mengalami luka bakar 80%. Awal 2017 keluarga korban datang ke kantor YAPHI untuk meminta pendampingan. Dunung dan tim  kemudian melakukan  investigasi ke rumah korban.  Waktu itu kondisi korban bisa dikatakan  tidak seperti manusia sebab sudah membusuk. Saat itu yang dilakukan Dunung dan tim di kantor adalah berkoordinasi dengan lembaga pemberi layanan agar korban bisa mendapat layanan medis, luka bakar  bisa disembuhkan. Termasuk berkoordinasi dengan para dokter dari PMI untuk melayani korban.

Pada saat korban hendak dibawa ke rumah sakit, ia meronta-ronta, menolak dibawa. Ternyata karena korban pernah mendapat trauma waktu perawatan di rumah sakit sebelumnya. Akhirnya ada dokter yang menyarankan stop dulu segala upaya membawa korban berobat ke rumah sakit. Sehingga menjadi catatan Dunung sebagai pendamping bahwa yang utama penguatan psikisnya. Seminggu sekali PMI mendatangkan psikolog untuk pemilihan korban. Setelah korban pulih kemudian baru kasus dilaporkan. Karena lokus sangat jauh luar pulau, pendamping akhirnya  melaporkannya terkait  penelantaraan. “Kasus itu bisa dilaporkan jika 6 bulan korban tidak diberi nafkah,” terang Dunung.

Menurut Dunung, pemetaan ini penting dan ini yang membedakan ketika lembaga pemberi layanan belum mengintegrasikan layanan dan tidak paham tupoksi sehingga berisiko menjadikan korban jadi korban lagi. Kepastian dalam pemulihan bagi korban dan proses hukum yang berkepanjangan dan lama, biasanya menjadi latar belakang korban mencabut laporannya. Untuk kasus di atas, dilakukanan pelaporan untuk kepastian hukum, dengan pengaduan ke Kapolri serta  membangun jaringan. Untuk kasus-kasus berikutnya, di Sukoharjo, pada September 2021 YAPHI membangun jaringan.  

Narasumber lainnya, Maria Rini Indriarti, dokter psikiatri di RSJD dr. Arif Zainudin memberikan pemahaman dengan tiga kata kunci saat pertama kami menemukan korban kekerasan pada anak dan perempuan yakni 3 L  : look, listen, link (hubungkan). Terkait pencegahan kekerasan, menurutnya beberapa kearifan lokal bisa digunakan misalnya cara mensugesti orang-orang dahulu untuk menghindari perilaku kekerasan yang dilakukan oleh para orangtua misalnya, “Aja galak galak dengan anak nanti anak akan lebih galak dari kita.”Anak adalah seorang peniru yang hebat. Seyogyanya sebagai orangtua bisa jadi tuntunan bagi mereka. “Dulu kita dapat pola asuh dari orangtua. Dari diri kita membangun mindset dan pola pikir bagaiamana kita saling asih asuh,” terang Maria Rini. Sekali lagi ia menegaskan dengan upayakan pencegahan primer dan tersier sebagai forum perpanjangan tangan untuk usaha mencegah kekerasan di lingkungan kita.

Menjawab pertanyaan peserta, bahwa restitusi sulit dilakukan sebab Aparat Penegak Hukum (APH) tidak memiliki perpsektif, Dunung Sukocowati menyatakan bahwa hal yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan hak korban, justru akan melaporkan kasus perdatanya. Biasanya itu berada di gugatan rekonvensi. Kasus KDRT, lalu bercerai di gugatan rekonvensi. Kasus yang didampingi YAPHI, korban adalah 400 jt. Untuk gugatan rekonvensi akhirnya diputus hakim 80,5 juta. “Kita juga mendampingi di Sragen juga goal. Pelaporan penelantaran dengan gugatan rekonvensi hasilnya berpihak kepada korban.”pungkas Dunung. (Astuti