Rakor Jaringan Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jaringan Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S) yang baru terbentuk beberapa waktu lalu, mengadakan rapat koordinasi terkait evaluasi atas audiensi kepada bupati namun diterima oleh Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPKBP2A), Jumat (22/10).

Rakor yang berlangsung di Loka Bina Karya (LBK) sekaligus kantor Paguyuban Sehati tersebut dihadiri oleh beberapa orang anggota jaringan. Pada kesempatan pertama Edy Supriyanto Ketua Paguyuban Sehati menyatakan bahwa jaringan ini sangat diperlukan untuk menjadi media penanganan yang inklusif yang tidak hanya kepada perempuan, anak, difabel tetapi juga masyarakat yang berpenghasilan rendah atau PMKS, dan kelompok minoritas.

Kasiyati dari Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah  menyampaikan bahwa sekitar lima atau enam tahun lalu pihaknya juga berjejaring dengan beberapa organisasi dan lembaga salah satunya dengan Sehati dan menginisiasi  untuk membuka paradigma dan perspektif. Namun jaringan yang berbentuk aliansi ini tidak berjalan. Pihaknya memang mengakui secara kultural penanganan kasus di Sukoharjo dan Surakarta berbeda kultur. Di Sukoharjo jika ada penanganan kasus kadang harus dengan debat dulu dengan para pemangku kebijakan. Padahal semestinya membangun sistem.

Hal yang sama disampaikan oleh Abdullah Tri Wahyudi, Ketua LKBHI UIN Raden Mas Said Surakarta yang menyatakan bahwa salah satu tujuan yang diperbaiki adalah adanya perbaikan akses peradilan perempuan dan anak serta difabel. Ia menyarankan jika pucuk pimpinan (Bupati) sulit untuk ditemui  dan masih belum bisa mencerna tujuan audiensi, maka bisa melakukan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) terlebih dahulu.

Abdullah menambahkan bahwa apabila kesepahaman jalan maka hal itu memiliki tujuan untuk memperbaiki peradilan bagi anak, perempuan dan difabel. “Kita saat mendampingi jangan sampai terkena stroke. Kalaupun ada hal yang kurang maka koordinasikan. Mungkin baiknya dengan APH dulu. Saya pernah bekerja di posbakum PN Sukoharjo. Kita advokasi dan yang kita advokasi dan sudah ada kesepahaman. Barangkali ini bisa diperbaiki, kita refleksi. Data base kita tambah,” terang Abdullah. Ia berharap ke depan jaringan bisa solid. Bahkan jika dibutuhkan, perlu adanya rekomitmen untuk memastikan jalannya jaringan ini mencapai tujuan yang diharapkan.

Ada strategi mempengaruhi tembok kekuasaan. “Saya mengibaratkan seperti obat nyamuk yang  melingkar itu, sebelum obat nyamuk sampai porosnya kita bisa menyisir di sekitarnya. Biar sepemahaman dan  tinggal bersama-sama  menggiring porosnya. Juga untuk memetakan mana lembaga yang sudah memiliki perspektif dan mana yang belum berperspektif. Nanti akan kita tandai,” jelas Abdullah yang diiyakan oleh Kasiyati.

Dunung Sukocowati dari Yayasan YAPHI menyampaikan hal yang tidak jauh berbeda terkait jaringan. Ia mempertanyakan komitmen anggota supaya bisa duduk bersama dengan stakeholder yang memberikan layanan dan mendiskusikan misalnya kasus ini ketika mengakses sulit itu kenapa, kasus itu kenapa layanannya susah diakses?

Beberapa hal memang menarik perhatian para anggota jaringan misalnya mengapa selama ini pendekatan kasus kekerasan seksual selalu berujung jalan damai, dengan mengesampingkan pemenuhan hak anak. Sedangkan lembaga yang ada dan melekat di dinas sosial seperti LK3, TKSK pendekatannya lebih kepada pendekatan sosial dan charity, bukan pendekatan berbasis HAM. Dan terkait korban hanya dilihat dari dampak ekonomi. Apalagi sama sekali belum berbicara tentang reintegrasi dan rehabilitasi layanan psikologi.

Menutup rakor, Edy Supriyanto menyampaikan bahwa temuan-temuan kasus akan didokumentasikan dan rencana ke depan akan bertemu dengan para pemangku kebijakan dalam forum FGD penanganan kasus dengan tujuan untuk penyadaran. Untuk payung hukum, kemungkinan bisa dengan menyusun raperbup atau menelisik kembali raperbup yang saat ini sudah berada di bagian hukum. Dan secara internal jaringan, direncanakan akan ada diskusi berkala di jaringan untuk menyamakan perspektif anggota dan meningkatkan kapasitas. Juga perlunya jaringan membuat profil anggota jaringan dan menyusun SOP atau semacam kode etik dalam gerakan yang solid.  (Astuti)