Urgen Lakukan Koordinasi Kasus Kekerasan Anak

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Sekira 15-an orang pegiat isu perempuan dan anak yang terdiri dari jaringan NGO (YAPHI) dan  organisasi kemasyarakatan/agama ( MHH AIsyiyah, Muslimat NU), organisasi difabel  (Paguyuban Sehati) serta profesi pengacara (Peradi) melakukan audiensi di kantor Dinas Pengendalian Penduduk, KB dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPKBPPA) Menara Wijaya  dan ditemui kepala dinas Probiningsih Dwi Danarti, Selasa (12/10).

Beberapa persoalan dikemukakan oleh Dunung Sukocowati, antara lain penanganan kasus masih berbasis parsial dan tidak komprehensif dari awal sampai reintegrasi. Pada kasus kekerasan seksual anak, ada beberapa hak yang diajukan misalnya pendampingan psikologi yang dilakukan RSUD belum terkoordinasi. Kendala lainnya, kasus kekerasan seksual untuk bisa mengakses layanan yang harusnya khusus tetapi masih umum padahal mestinya tidak bisa dilayani dengan biasa.

Hal lain adalah akses layanan kesehatan masih berbayar dan yang memprihatinkan karena kasus ini harusnya hak korban terpenuhi. Juga masih adanya stigma kepada korban yang sangat butuh penanganan komprehensif, dan jangan berbasis kasus saja.

Soal pendampingan psikolog, harusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah, sebab semestinya korban tidak menjadi korban lagi dengan cara penanganan yang tidak benar. Temuan-temuan ini cenderung berulang, padahal layanan semestinya terintegrasi. “Bagaimana korban berani membuka diri, jika akses layanan sulit?”tanya Vera Kartika Giantari.  

Vera menambahkan bahwa mungkin penanganan bisa dikuatkan dengan adanya SOP, misalnya dengan menggratiskan layanan visum, dan layanan kesehatan sesudahnya serta layanan rehabilitasi korban.

Proboningsih, Kepala Dinas PPKBPPA menjawab bahwa pendampingan psikologi kepada korban belum bisa dilakukan seperti yang dilakukan di Kota Surakarta, yakni lewat PT PAS. Namun penanganan langsung dari dinas kesehatan. Probo mengakui bahwa Kabupaten Sukoharjo belum memiliki UPTD yang khusus menangani kasus-kasus kekerasan. Juga belum memiliki SDM yang mumpuni dalam penanganan kasus. Rencananya UPTD akan diwujudkan tahun 2022. Bahkan untuk ruangan sudah dipersiapkan.

Tentang adanya salah satu kasus kekerasan anak yang saat ini terjadi, ia menjawab bahwa pihaknya tidak mendapat informasi lanjutan terkait kasus anak tersebut alias tidak ada koordinasi. Ia membenarkan bahwa sulitnya mengakses layanan psikologi di RSUD sebab layanan tersebut hanya bisa dilayani setelah jam kerja, atau di luar jam kerja. Ia menjanjikan akan berbicara lanjut dengan dinas kesehatan terkait pembiayaan visum bagi korban.

“Pelan-pelan akan kami benahi. Ini butuh perjuangan keras. Padahal di Kemendagri tidak boleh ada UPTD. KLA di kami juga terkendala karena tidak ada UPTD. Kami sudah susun Naskah Akademik (NA) pentingnya UPTD. Dan sudah konsultasi ke Kemendagri jika di struktur organisasi sudah UPTD,”terang Proboningsih. Ia menambah keterangan  bahwa pihaknya saat ini  tengah menyiapkan satgas PPA.

Nunung Purwanti, salah satu peserta audiensi menceritakan pengalaman Kota Surakarta saat membentuk PT PAS yakni jaringan masyarakat sipil dan aparat penegak hukum yang terdiri dari LSM, kepolisian, psikolog, psikiater, pengacara, jaksa, serta hakim. Mereka duduk bersama karena menyadari adanya kebutuhan yang sama yakni penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan secara komprehensif dan terintegrasi. Pada tahun 2004 disusunlah SOP dan MoU. Pada tahun 2011, PT PAS kemudian berubah menjadi UPTD yakni P2TP2A-nya Surakarta. Jadi menurut Nunung, yang utama adalah memperbaiki perspektif para pihak terhadap korban.  Sebab dari semua hal, pemenuhan hak-hak korban adalah krusial. Dan untuk menangani kasus kekerasan agar terintegrasi butuh jejaring.

Menutup audiensi, Proboningsih secepatnya akan melakukan koordinasi dan melaporkan hasil pertemuan kepada bupati. (Astuti)