Beberapa Tantangan yang Dihadapi Saat Penanganan Kasus Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jurnal Perempuan didukung Kurawal Foundation   melaunching edisi JP 109 sebagai bentuk komitmen dan dukungan terhadap RUU P-KS dengan gelaran webinar via zoommeeting dan disiarkan langsung kanal youtube  Jurnal Perempuan bertema Kekerasan Seksual dan Ketimpangan Gender, Kamis, 30/9. Atnike Nova Sigiro dari Jurnal Perempuan menyatakan bahwa di edisi kali ini memuat tentang hasil penelitian dengan menyasar 62  organisasi yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan (FPL).

Atnike juga menyampaikan informasi terkini hasil dari baleg, bahwa RUU P-KS banyak mengalami  reduksi dari draft awal yang memuat 15 macam kekerasan menjadi 5 bentuk kekerasan seksual. Dari 62 responden, mereka banyak menjawab terkait adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis praktik tradisi. Namun angka yang paling tinggi adalah pemerkosaan.

Semua bentuk tantangan pernah dihadapai oleh lembaga-lembaga yang tergabung dalam FPL. Temuan berikutnya adalah banyak korban yang tidak diakomodasi layanan hukum  misalnya tidak adanya ahli, tidak ada biaya proses hukum, ancaman terhadap korban, korban takut mendapat balasan dari pelaku, korban  dan keluarga malu, tidak adanya perlindungan terhadap korban dan tidak ada payung hukum secara spesial melindungi korban.

Baihajar Tualeka, narasumber dari Ambon menceritakan bagaimana perjuangan seorang ayah yang mengantarkan anaknya korban perkosaan yang menggunakan perahu kecil dan harus pergi ke salah satu desa dan melewati lautan untuk mencapai akses peradilan. Dan ketika proses hukuman, pelaku mendapatkan hukuman 5-6 tahun, menurut Baihajar ini belum adil, sebab banyak ancaman dan stigma menimpa korban dan keluarganya. Di wilayah Timur Indonesia, akses internet menjadi kendala tersendiri.

Perempuan Disabilitas Mengalami Kerentanan Ganda

Rina Prasarani, perempuan disabilitas netra dari HWDI dan sekjen World Blind Union, yang juga bekerja di Hotel Grand Melia menyatakan bahwa perempuan disabilitas memiliki kerentanan ganda. Ia sebagai perempuan, disabilitas dan memiliki lapisan paling bawah. Di sisi seksualitas, banyak anggapan sebagai makhluk aseksual atau tidak memiliki hasrat seksual,  sehingga tidak mendapatkan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), termasuk tentang hak atas tubuhnya. Informasi tentang HKSR ini yang seharusnya didapat.

Kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan terdekat dengan korban misalnya guru, pengelola panti, caregiver dan keluarga/kerabat dekat. Pendidikan hak atas tubuh perempuan anak difabel kemudian menjadi penting dan urgen. Bila kejadian kekerasan seksual di panti, mereka tidak memiliki informasi yang cukup. Dan tidak ada pemahaman mekanisme untuk melaporkan . Kalaupun ada masih banyak yang punya anggapan bahwa perempuan disabilitas aseksual seperti tersebut di atas. (Astuti)