Rasisme dan Rasialisme, Bagaimana Menanganinya

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

“Rasisme adalah konstruksi sosial dari pemerintah kolonial yang sejak itu meresap ke dalam dimensi paling penting dari kekuatan global.”

Diskriminasi ras dimulai dari kolonial dan pemerintahan orde baru resmi memperlakukan ras tertentu secara represif dan ‘ditinggalkan’ dalam konteks pembangunan dan ekonomi. Kata pribumi dan non pribumi dan kelas-kelas yang dibangun kolonial membuat diskriminasi ras tersebut semakin tajam. Demikian paparan Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan pada webinar Mencari Solusi Menangani Perilaku Rasis di Indonesia yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, Februari (11/2).

Orang bisa diklasifikasikan berdasarkan ‘ras’ dan itu cara untuk melegitimasi hubungan superioritas dan inferioritas antara orang yang mendominasi dan didominasi. Di Indonesia, diskriminasi yang paling sering terjadi pada  isu Tionghoa dan Papua. Terdapat kebencian yang berulang serta ketakutan kolektif pada momen-momen politik tertentu. Menurut Mariana, diskriminasi ras dapat terlihat dalam bentuk ucapan/ajaran/persyaratan berdasarkan pada warna kulit kuning dan putih, rambut keriting, rambut lurus, hidung pesek/mancung, mata sipit, mata belo, sampai ciri biologis tersebut mengandung hirarki antara supremasi dan perendahan martabat yang menimbulkan penindasan dan konflik. Kulit putih kemudian disebut “non colour” sementara yang lain disebut kulit berwarna menjadi pembedaan yang menetapkan kulit putih sebagai ras yang unggul. Hal ini dapat juga dalam bentuk aturan dan kebijakan yang membunuh karakter seseorang dengan ciri biologis tertentu.

Komnas Perempuan lahir dari sejarah rasisme dan seksisme terhadap perempuan Tionghoa. Kebencian terhadap ras ini memicu perendahan martabat yang sangat tidak manusiawi pada perempuan keturunan Tionghoa yang mengalami perkosaan. Temuan tersebut terjadi di antara kerusuhan Mei 98 oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang kemudian dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Sepanjang 13-15 Mei 1998, perempuan Tionghoa mengalami ketakutan yang luar biasa di beberapa kota : Solo, Surabaya, Lampung,  dan Medan. Tim Relawan untuk Kemanusiaan ketika sedang di lapangan menemukan beberapa orang terluka dan meninggal akibat tragedi Mei 98 merupakan korban perkosaan yang tersiksa dalam  kebisuan. Adanya kebenaran telah terjadi peristiwa serangan seksual dalam bentuk “gang rape” yang dilakukan secara brutal/penganiayaan (penyiksaan) dilakukan di mana-mana dalam waktu bersamaan. Terdapat 85 kasus kekerasan seksual (yang ditemukan) di dalamnya terdapat 52 gang rape, 14 perkosaan dengan penganiayaan, 10 penganiayaan dan 9 korban pelecehan seksual.

Diskriminasi ras yang diciptakan dalam kasus Mei 98 dalam seri Dokumentasi Kunci Komnas Perempuan mencatat bahwa isu ras dan etnis di Indonesia  cenderung dibuat untuk memecah belah masyarakat, di mana salah satu ras “sengaja” dijadikan korban (tumbal/kambing hitam). Dengan dibangunnya kebencian yang teramat dalam. Hal ini dinyatakan dalam seri Dokumentasi Kunci tersebut, dalam tragedy pemerkosaan yang terjadi pada keturunan Tionghoa terjadi pola yang sistematis dan meluas.

Pola rasisme berulang pada tahun 2017 saat Pilkada Jakarta berlangsung sejumlah cuitan di media sosial tersebar tentang “perkosa Cina”, yang menumbuhkan keresahan dan membangkitkan trauma masa lalu.

Pada tahun 2019, mahasiswa Papua di Surabaya mengalami perlakuan rasis dari masyarakat dan aparat yang pada akhirnya memicu kerusuhan di Papua. Komnas perempuan melakukan pemantauan dan pencarian fakta, kunjungan tahanan ke Rutan Pondok Bambu dan manokwari untuk tahanan perempuan yang ditangkap dalam demonstrasi tentang rasialisme. Di Rutan Pondok bamboo, Arina menceritakan pengalaman rasis yang diterimanya di lingkungan tahanan. Pengalaman penangkapan dari beberapa tahanan menceristakan rasisme,”tidak usah pakai baju, kalian sudah biasa tidak pakai baju.”

Indonesia telah memiliki payung hukum yakni Undang-Undang nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi, Ras dan Etnis yang dibentuk untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap setiap warga negara. Undang-Undang ini produk hukum paska reformasi yang baik untuk dijadikan rujukan utama untuk mencegah diskriminasi ras di Indonesia.  (Astuti)