Menemukan Komisi Kebenaran yang Ideal Bagi Indonesia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Wacana Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) tentang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menuai berbagai pertanyaan mengapa wacana itu ada. Tujuan pembentukan komisi kebenaran tersebut tak lain adalah untuk mencari fakta, memberikan perlindungan korban, mencegah keberulangan dan mengungkap kebenaran.

Kita perlu memperbanyak dan menyamakan perspektif serta menjaga agar wacana KKR tidak melenceng dari KKR itu sendiri. KKR ada untuk mencegah kembali pelanggaran HAM. Juga akan jadi komplementer penyelesaian judisial. Rencananya akan melibatkan korban dan masyarakat sipil terlibat dalam penyusunan RUU-nya.  Demikian dikatakan oleh Adelita Kasih, moderator pada diskusi daring menemukan komisi kebenaran yang ideal bagi Indonesia yang digelar oleh Kontras pada Kamis (3/12).

Rudy S, narasumber dari Kemenkopolhukam  menyatakan pernah duduk bersama dengan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Menurutnya Kemenpolhukam tidak main kertas, tidak  main sendiri tetapi juga turun ke lapangan. Berkoordinator dengan pihak-pihak berkepentingan diharapkan bisa membantu ke Papua, yang secara kewilayahan diselesaikan sendiri. Begitu juga di Ambon, mereka hidup dalam kedamaian. Kemenpolhukan tidak mundur meski ada hambatan internal maupun eksternal.  Di internal banyak yang harus disamakan sehingga terus melakukan upaya mencoba melalukan komunikasi dengan berbagai pihak.

Di Lampung Timur atau Talangsari Kemenpolhukam  sudah melakukan upaya-upaya sehingga bisa terurai, baru kemudian  ke korban. Mereka membuka diri dan di akhir tahun program pemulihan yang mereka lakukan bisa dikatakan selesai. Para korban terus berkomunikasi kepada mereka. Para korban tersebut banyak yang menjadi pelopor di desa. Kita juga melakukan pendekatan masyarakat di Aceh.

Rudy S, menambahkan bahwa kementerian tetap mencari upaya legal untuk mendukung upaya pemerintah dalam hal ini kami menyusun produk hukum. Dalam prosesnya, mengapa upaya penyusunan RUU KKR HAM mendapat kesulitan? Jika sampai berhasil akan membutuhkan waktu panjang. Kemenkopolhukam saat ini sedang mengupayakan Peraturan Presiden (Perpres) Unit Kerja Presiden (UKP) Penanganan Pemulihan Pelanggaran HAM Berat. “Ini yang kita susun dan diskusi kami di internal melibatkan kementerian dan lembaga juga sering mendiskusikan ini dengan non pemerintah yang selalu perlu komunikasi yang kontinyu. Di sini ada Pak Daud yang bisa memberi saran dan masukan kepada pemerintah jika diterima maka bisa menjadi aturan tersendiri, termasuk Komnas HAM,”pungkas Rudy S.

Di Lampung Timur (Talangsari) Ombudsman menyatakan deklarasi Talangsari maladministrasi. Moderator mempertanyakan apakah kalau sudah ada deklarasi, lantas tidak ada lagi proses peradilan dijalankan? Karena menurutnya Komisi Kebenaran hanya komplementer dan harus ada pengadilan HAM dan menurutnya bukan kewenangan Kemenpolhukam untuk menyelesaikan secara juridisial sejauh pembahasan itu ada. Rudy S. menjawab  langkah-langkah yang mereka dilakukan pihak ORI memahami. ORI justru memberi dukungan tentu, waktu itu LPSK juga diundang. Bukan berarti proses yuridisnya terhenti. Pemerintah harus fokus dan harus memberikan prioritas yang mana yang harus dilakukan.

Makarim Wibisono narasumber lain menyatakan paparannya mengapa KKR perlu sebab adanya pelanggaran HAM meninggalkan luka terutama oleh korban. Apabila masalah ini tidak diselesaikan akan menimbulkan ganjalan kebangsaan, adanya citra impunitas, dan himpitan ingatan bahwa tidak adanya keadilan. Oleh karena itu  perlu menghapus luka bangsa itu sehingga kita menghadapi hidup baru lebih harmonis. Menurutnya sangat mungkin KKR ini dibentuk contohnya Jerman bisa menyelesaikan masalah HAM sehingga rakyat tidak memiliki ganjalan. Chile rekonsiliasi dengan baik, demikian pula Afrika Selatan.

Bagaimana dengan Indonesia? Sudah pernah ada UU RI nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tapi MK membatalkan UU tersebut. MK menganggap bila pelaku sudah mengaku maka masalah akan selesai. Menurut MK ini bertentangan kepentingan program dan  kelanjutannya bagaimana? Pemerintah dengan DPR RI bisa ajukan RUU yang memperbaiki masalah tersebut namun telah berjalan silih berganti pemerintah terjadi di Indonesia tampaknya belum ada hasil yang konklusif. Sedang pemikiran -pemikiran yang ada selama ini adalah adanya konsep penyelesaian kasus melalui pendekatan non judisial, pembentukan dewan kerukunan nasional, Deklarasi Damai Talangsari. Kemudian lahirlah gagasan Menkopolhukam dengan memilih konsep yang konstruktif terkait Intan Jaya, Papua sudah membentuk TGPF yang beranggotakan Pelangi/beragam.

Bagaimana bergerak maju sedangkan sudah banyak gagasan judisial dan non judisial. Menurut Makarim  kita stagnan dan bersikeras pada pendapatnya masing-masing sehingga mengorbankan kepentingan bersama sebagai bangsa. Lalu ada ketakutan bahwa timbul korban-korban yang akan bertanggung jawab. “Nah pertanyaannya adalah apakah hal demikian terjadi di Afrika Selatan? Chile? Atau Colombia?” terang Makarim.

Ada sebuah solusi adanya Komite Nasional Pembentukan RUU-KKR yang keanggotaannya mirip dengan TGPF terdiri dari pejabat pemerintah, tokoh-tokoh daerah, aktivis HAM, tokoh masyarakat dan perwakilan pelaku, juga korban serta semua diberi tugas selesaikan RUU-PKS dalam waktu 6 bulan.

Tioria Pretty menutup diksusi daring dengan pernyataan bahwa ada hak untuk mengetahui kebenaran dengan adanya Komisi Kebenaran. Dan apa yang perlu diketahui adalah kebenaran yang lengkap tentang aktor dan korban. Juga sebab serta akibat peristiwa itu. (Astuti)