Diskusi Buku “Dari Dalam Kubur”

Penilaian: 4 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Banyak perempuan yang menjadi  korban pelanggaran HAM berat 65 dipenjara tanpa sidang. Dalam novel “Dari dalam Kubur” ada tokoh Widya yang menyembunyikan anaknya sendiri. Kejahatan yang dialaminya waktu itu adalah perbudakan seks. 150 eks tahanan politik di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta alami perkosaan-perkosaan oleh tentara.  Demikian catatan pembuka Soe Tjen Marching dari Soas Univercity dalam diskusi buku “Dari Dalam Kubur” , Kamis (3/12).

Latar belakang novelnya sebenarnya tidak ditulis sebagai novel namun buku akademik. “ini kisah seorang ibu, yang saya samarkan namanya menjadi Widya. Ibu ini dituduh anggota gerwani, dipenjara dan diperkosa berkali-kali. Ia masih ketakutan untuk membuka diri. Akhirnya saya cari jalan dengan menulis novel,”terang Soe Tjen Marching

Semula buku ini  tahun 2018 akan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia tapi mereka mau menyensor akhirnya terbit di Penerbit Marjin Kiri. Soe Tjen tidak bisa membagikan banyak materi yang ada dalam buku tersebut. Ia lantas berbagi cerita bahwa saat melaunching “Dari dalam Kubur” ada yang memaki-maki dirinya karena orangtuanya PKI. Menurut orang-orang yang memaki tersebut orangtuanya pantas mati. Soe Tjen menyatakana bahwa ayahnya pernah dipenjara tanpa pengadilan oleh rezim Soeharto dan mengalami penyiksaan-penyiksaan hingga nyaris meninggal.

Soe Tjen membagikan satu halaman bukunya yang mengutip Maria Goreti Sumilah,”Setelah semalam dia mengunyahi tubuh kami dengan buas dan bernafsu kemudian pagi harinya ia memberi petuah tentang ketuhanan, kemanusiaan, tentang Pancasila,”. Bagian di satu halaman inilah sebenarnya yang ingin dihilangkan oleh penerbit.

Nursyahbani Katjasungkana salah seorang narasumber menyatakan bahwa selama ini  kebohongan ditanamkan dan itu  propaganda oleh militer. Di antaranya pada saat penguburan para Jenderal Soeharto menyatakan “ini dalangnya PKI”. Saskia Weringa, khusus Gerwani dia menulis buku “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia” mengungkapkan bagaimana perempuan-perempuan yang berada di jalan lalu ditangkap. Mereka diberitakan di Berita Yudha, dan koran-koran lainnya termasuk Kompas. Fitnah-fitnah itu menjadi justifikasi kemudian terjadi genosida dan kejahatan kemanusiaan. Propaganda berlanjut dengan monument Pancasila Sakti dan berbagai literatur tentang komunis.

Menurutnya beberapa penghancuran gerakan perempuan antara lain adalah dengan terbitnya UU Perkawinan 1974 yang memisahkan peran suami dan istri , GBHN tahun 1974 Repelita ke-2, Penanaman Panca Dharma Wanita. Kemudian terjadinya konsekuensi politik dengan hilangnya satu generasi terdidik hilang yakni terdiri dari para politikus, guru, intelektual dan wartawan, kemudian Indonesia masuk ke pusaran globalisasi/kapitalisme, politik korptratif/asas tunggal/penghancuran gerakan perempuan. “Pada April 1965 Gerwani berafiliasi dengan PKI namun S.K Trimurti tidak setuju lalu keluar. Rencananya itu mau dibahas lalu batal karena ada peristiwa G 30 S,”jelas Nursyahbani.

Sri Wahyuningrum, dosen UPNVJ mengetengahkan bahwa  upaya reparasi-reparasi dilakukan adalah lewat pintu LPSK namun besarannnya semakin  kecil saja, rencananya akan diintegrasikan ke BPJS. Perwakilan mahasiwa, saat ini sedang historical justice? Dengan sedikit penyensor. Ia  menyayangkan  tidak ada narzsumber dari pihak mahasiwa, namun merasa optimis karena pembicaraan narasi 65 tentang perempuan korban ini menjadi bahan diskusi.

Statemen penutup dari Soe Tjen  bahwa negara tidak akan maju kalau tidak menghargai HAM dan perempuan. Sedangkan Nursyahbani Katjasungkana menyartakan bahwa seksisme dan misoginis masih dipelihara di sini. Gerwis dan Gerwani sebagai sejarah yang kuat tentang pergerakan perempuan di Indonesia. (Astuti)