Konferensi Pers AMAN, KPA dan WALHI Sikapi Undangan Presiden

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Rukka Sombolinggi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada Selasa, 24/11/2020 menyatakan bahwa saat ini Presiden Joko Widodo telah bertolak dari masyarakat adat terbukti dengan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Di sisi lain presiden mengatasi krisis dalam pandemi COVID-19 dengan gotong royong, menurut Rukka ini kontroversi pernyataan. Jika presiden serius, maka tidak akan terjadi seperti hari ini, keputusan 74 ribu hektar hutan adat dapat sertifikat, kemudian di mark-up jumlahnya jadi sekian ratus ribu, padahal itu masih indikatif.

Di saat gerakan menanam massif, pandemi makin buruk, di bawah panji-panji Undang-Undang Cipta Kerja, Perhutani sudah mulai meniadakan masyarakat adat. Di Kasepuhan, ada selebaran yang harus ditanda-tangani bahwa itu bukan milik masyarakat tapi milik negara. Perhutani bikin Surat Keputusan (SK) yang bunyinya antara lain “tidak ada masyarakat adat, tidak ada orang Osing”. Demikianlah temuan-temuan yang ada di masyarakat adat saat ini.

Rukka menambahkan bahwa di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) bergerak kelompok tani dan kelompok ini  mengatasnamakan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) dengan memasang plang bahwa tanah ini miliki ini. Menurutnya saat ini orang-orang ini memakai ‘jimat’ nama istana untuk merampas. Menurutnya jika presiden memiliki mata dan telinga, maka akan mencabut Undang-undang Cipta Kerja dan menyegerakan lahirnya satgas masyarakat adat untuk membuatkan peta jalan. Meski bukti itu terus ada dari meja ke meja, tetapi sampai detik ini tidak ada satgasnya.

Seperti yang telah disampaikan dalam siaran persnya, AMAN mendapat undangan melalui protokoler kepresidenan. Undangan ditujukan kepada Sekjen AMAN melalui WhatsApp (WA) pada hari Kamis, 19 November 2020. Namun demikian, hari ini (Senin, 23/11/2020) AMAN tidak dapat memenuhi Undangan tersebut dengan berbagai pertimbangan di antaranya dalam tata cara dan prosedur administrasi negara, seharusnya undangan disampaikan secara tertulis minimal 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan apa lagi dalam undangan mensyaratkan tindakan-tindakan preventif terkait protokol kesehatan COVID-19. Dalam undangan yang disampaikan melalui aplikasi WhatsApp tersebut, dinyatakan bahwa para undangan (termasuk Sekjen AMAN) akan diterima Presiden RI bersama beberapa pegiat lingkungan hidup lainnya secara tertutup/intern. Dari kata-kata ini sangat jelas terkesan bahwa para undanganlah yang meminta untuk bertemu Presiden dan bukan sebaliknya.

Sikap AMAN juga disampaikan dalam siaran pers bahwa dalam pandangan mereka, presiden saat ini sudah menunjukkan sikap tegas berpaling dari masyarakat adat dan memihak korporasi dan oligarki yang menjadi salah satu aktor pelanggaran hak-hak kolektif masyarakat adat. Buktinya, sejak Presiden Joko Widodo menjabat pada periode pertama hingga periode kedua, janji Nawa Cita terkait perlindungan dan pemajuan Hak-Hak Masyarakat Adat hingga saat ini belum ada satu pun yang dipenuhi, tidak ada realisasinya sama sekali.

Sedangkan Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memutuskan untuk memenuhi undangan Presiden Joko Widodo, setelah berkoordinator dengan dengan dewan nasional.  Mengingat mereka memahami risiko politik yang dipertimbangkan. Topik pertemuan tentang reforma agaria, dan yang diudang aktivis reforma agraria yang saat ini terjadi atas nama reforma agraria yang dihadapi anggota KPA di 23 provinsi. Mereka memperjuangkan karena ancaman semakin besar dengan ditetapkannya UU Cipta Kerja, memastikan wilayah reclaiming yang sudah dipetakan tidak digerus. “Mengapa kami beda? Karena kami ingin mengkritisi secara khusus secara realisasi reforma agraria yang dijanjikan, perlu untuk melengkapi sikap. Selain rilis secara organisasi, dalam satu tahun terakhir perlu disampaikan secara langsung,”terang Dewi.

Ada sembilan pokok masalah yang disampaikan oleh Dewi Kartika secara langsung kepada presiden. Ia ingin menceritakan cerita baik tetapi kemarin yang ia sampaikan belum ada perubahan signifikan negara dalam penyelenggaraan reforma agraria. Maka ia menyampaikan poin-poin yang sudah dirumuskan, ada yang utuh dan ringkas, poin tersebut antara lain bahwa realisasi reforma agraria tidak bergerak sama sekali seperti Presiden Jokowi lakukan yakni hanya penyerahan sertifikat, dan itu tidak seperti yang KPA harapkan, dari sisi kelembagaan reforma agraria, gugus tugas reforma agraria, sesuai keputusan presiden yang bertemu delegasi tani, yang semula bertemu presiden, diturunkan derajatnya ke wamen, Wamen yang ditunjuk tidak memiliki pemahaman, dan tidak ingin mengkonsolidasikan. Wamen ini kontra produktif, program struktural macet total di wilayah perhutani dan PTPN masih macet total, dan mempertanyakan apakah harus seluruh petani berjalan kaki ribuan kilometer untuk direstribusikan?, KPA ingatkan lagi bahwa ada ratusan desa yakni 502 desa seluas 600 ribu hektar mengalami kemacetan dan sudah disampaikan kepada presiden, dan masuk kementerian dan KSP. Namun tidak diberi respon dari kementerian BUMN sebab anggota KPA banyak yang berkonflik dengan BUMN.

Secara khusus dan eksplisit KPA juga menyampaikan kekecewaan dan tegas menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Dari September 2012 -2020, ada 19 korban tewas di wilayah  konflik. Cara-cara represif belum berubah   dan intimidatif serta kriminalisasi, KPA masih bekerja sama dengan aktivis, masih peta kompli dan percuma saja Presiden Jokowo mengangkat reforma agraria serta mempertanyakan langkah apa yang sudah presiden lakukan? Sebab enam tahun terakhir itu agenda reforma agraria tidak kunjung dilaksanakan

Respon presiden saat itu adalah adanya program perhutanan sosial, lebih maju dari realisasi reforma agraria.  Dalam forum presiden membuat pernyataan secara eksplisit akan fokus perhutani dan PTPN dan membuat perpres.

Nur Hidayati , Direktur Ekseskutif WALHI yang menolak hadir dalam undangan presiden menyampaikan bahwa jika ingin membuat peraturan pemerintah (PP) tetapi acuan undang-undangnya jelek pasti kontraproduktif. Suatu yang mustahil jika upaya-upaya community base menjadi corporate base. “Ibarat community base itu jalan ke utara, sedang corporate base jalan ke selatan dan semangat Undang-Undang Cipta Kerja semua akan menjadi korporasi. Tidak ada upaya melibatkan masyarakat secara partisipan. “Pemerintah baru saja menyelenggarakan food summit, yang ada hanya korporasi dan pejabat. Di situ tidak ada petani,” terang Nur Hidayati.

Beberapa pertanyaan mencuat dari wartawan terkait langkah apa saja yang akan dilakukan ke depan oleh ketiga organisasi ini Dewi Artika menyatakan orientasi politik agraria yang sekarang dijalankan pemerintah ini semakin bercorak kapitalistik dan liberal, tidak hanya sisi ketenagakerjaan, pekerjaan, termasuk tanah itu sendiri untuk kepentingan investor. Penguatan organisasi rakyat, petani paham, dan konsolidasi di KPA di 18 titik sampai November salah satunya adalah upaya mensosialisasikan salah satunya soal partisipasi bahaya UU Cipta Kerja bagi petani yang selama ini memperjuangkan reforma agraria. Proyek itu akan lebih besar dilakukan di desa-desa, untuk terus berjuang dan melawan maka harus terus diingatkan, karena kita gerakan rakyat dan independent dan reforma agraria berdasarkan rakyat.

Dewi Kartika  menambahkan dengan kembali ke Pancasila dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan konstitusi kita, inilah yang dilabrak UU ciptaker dan UU lainnya, bertentangan dengan corak ekonomi, segala usaha bersama gotong royong koperasi. UU Cipta Kerja sudah mengangkangi UU PA tahun 1960.  (Astuti)