Kelompok Perempuan Desa Dewi, Kesetaraan Gender dan UU PKDRT

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Situasi pagi hari di sebuah keluarga, ibu yang menyiapkan sarapan, bapak masih tidur kemudian bangun dan membopong bayi. Ketika bayi buang air, Ibu yang repot. Anak laki-laki duduk di meja makan, anak perempuan membantu ibu di dapur, padahal ibu harus bekerja dan harus menyiapkan semua bekal.  Bapak memangku bayi dengan menonton televisi sedangkan anak laki-laki duduk di samping bapak sambil menonton televisi. Perbedaan perlakuan anak-anak laki-laki dan perempuan sangat kentara. Ketika semua berangkat, ibu yang berangkat kerja belakangan dengan menggendong bayi. Film menggambarkan secara sarcasm bagaimana hingga si bayi tertinggal di jalan saat si ibu menaiki bus umum menuju tempat kerja. Hingga malam hari waktunya untuk istirahat, perempuan yang berperan sebagai ibu dan istri tersebut bermimpi tentang sesuatu yang tidak mungkin (impossible) pembagian peran dalam keluarga. Itulah sinopsis dalam film animasi “The Impossible Dream”.

 

Dalam masyarakat yang kental dengan budaya patriarki, perempuan seringkali ditempatkan dalam posisi subordinat, atau dalam tataran rumah tangga, perempuan identik dengan “pihak kedua yang lemah serta ibarat barang yang miliki” sehingga seringkali menjadi objek dari kekerasan. Di sisi lain anak-anak juga dianggap milik orangtua, sehingga boleh diperlukan dengan kekerasan dengan berbagai alasan misalnya untuk mengajari.

Terkait semakin canggih teknologi, anak menjadi tambah pintar dan menafikan peran orangtua dengan mencari segala hal pengetahuan lewat gadget. Atau malah melarikan masalah yang dihadapi di keluarganya dengan membuat statemen di media sosial.  Seperti yang diungkapkan oleh Dunung Sukocowati, narasumber dari Yayasan YAPHI di hadapan para perempuan Desa Dewi, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo pada 21 November 2020. Dunung pernah mendampingi anak korban kekerasan seksual yang membuat status di media sosial miliknya kemudian ditanggapi oleh seseorang yang dianggapnya bisa memberikan rasa nyaman yang berakhir menjadi korban kekerasan seksual.

Dengan mempelajari berbagai jenis kekerasan, serta memahami pasal-pasal yang ada pada Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) akhirnya para perempuan memahami tentang kesetaraan gender. “kalau ada tetangga yang anak perempuannya yang tidak disekolahkan, ketika Ibu-ibu di sini ada pemahaman tentang kesetaraan gender, kita bisa saling mengingatkan. Paling tidak harapan itu dari yang terkecil, dari keluarga sendiri dulu. Semua harus yang paling kecil. Kalau sudah ada pemahaman dari keluarga dulu, maka nanti akan bisa berkembang,” ujar Dunung Sukocowati. Ia juga memberi tips terkait menjauhkan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yakni adanya komunikasi yang baik. “Anggap saja bahwa anak itu sebagai teman, kalau anak menganggap orangtuanya teman, ya kalau mau cerita pasti  jujur, tidak sungkan,”terang Dunung.

Dengan media film The Impossible Dream yang diputar di awal pertemuan, juga membuat para perempuan merefleksikan diri apa yang terjadi pada rumah tangga masing-masing. Mereka mengakui bahwa ketimpangan peran nyata ada dalam keluarganya. (Astuti)