Pendidikan Inklusif Tak Maksimal, Tiga Kementerian dan YSTC Lakukan Webinar

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dalam rangka pelaksanaan perlindungan terhadap anak penyandang disabilitas di satuan pendidikan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) - Save The Children Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Kementerian Agama menyelenggarakan Webinar dengan tema Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas di Satuan Pendidikan.

Acara yang dibuka oleh Raissa Nadia itu dilaksanakan pada selasa (22/03/2021) melalui media ZOOM dan streaming di kanal YouTube KPPPA dan dihadiri 3 narasumber Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd (Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud RI), Dr. Ahsan Romadlon Junaidi, S.Pd, M.Pd (Dosen Pendidikan Khusus Universitas Negeri Malang), Bekti Prasetyani, S.Pd (Kepala Sekolah Dasar KITA Bojonegoro).

Sri Wahyuningsih menjelaskan tentang definisi inklusif yang merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan dengan memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan serta pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Ningsih, begitu dia biasa dipanggil, memaparkan regulasi apa saja yang sudah dikeluarkan guna mendukung program ini seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dan Peratuan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020. Tak luput juga perempuan paruh baya itu memamerkan rencana induk yang sudah dibuat pemerintah, di mana ada peningkatan jumlah sekolah pada 2019 sebanyak 59.060 sekolah dan jumlahnya bertambah menjadi 99.467 sekolah pada 2020.

Hambatan Anak Disabilitas saat Bersekolah

Akan tetapi saat ini masih ada kendala yang harus diselesaikan untuk memuluskan program ini seperti adanya penolakan dari orang tua murid yang anaknya satu sekolah dengan anak disabilitas, pelecehan terhadap anak disabilitas di area sekolah, tidak dilibatkanya anak disabilitas dalam kegiatan belajar, kurangnya sarana-prasarana penunjang, terbatasnya guru pendamping, serta minimnya dukungan pemerintah daerah dalam hal anggaran maupun regulasi.

Ahsan Romadlon Junaidi menawarkan pandangannya agar program sekolah inklusif ini bisa berjalan sesuai harapan, yang pertama membangun budaya inklusif kepada masyarakat dengan kampanye. Kedua adalah membuat regulasi yang mendukung, dan pengajar harus bisa menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.

Ahsan juga memberikan masukan kepada seluruh pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi regulasi dan kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pemenuhan guru pembimbing khusus anak penyandang disabilitas, dan perlu adanya Unit Layanan Disabilitas (ULD) atau Pusat Sumber Pendidikan Inklusif.

Bukan saja wakil dari pemerintah dan kalangan akademisi, webinar ini juga mengundang Bekti Prasetyani yang merupakan seorang praktisi dan sudah menjalankan program inklusif di sekolah yang dia pimpin dari  tahun 2013. Bekti mencoba berbagi pengalaman di mana dia memulai sekolah inklusif ini dengan 13 siswa dan 3 diantaranya merupakan anak disabilitas.

Bekti juga membagikan tips agar program inklusif ini dapat berjalan dengan memulai dengan diskusi bersama dinas pendidikan di Bojonegoro, membangun komitmen dengan orang tua, bekerjasama dengan orang tua terkait observasi dan assesment terhadap anak mereka, berjejaring dengan lembaga dan SLB seperti: Beloved Kanti Malang, Matahari Care Education Malang, AL-Hikmah Surabaya, RS Daerah, Puskesmas, dan Autis Center. Untuk pendanaan Bekti menggunakan dana donasi dan CSR perusahan. Agar program tersebut berjalan dengan baik Bekti juga membuat kurikulum sendiri di sekolahnya.

Jika dilihat dari cita-cita penndidikan inklusi ini  sangatlah indah, dimana siswa disabilitas bisa berdinamika bersama dengan anak seusianya, diharapkan bisa saling memberikan pelajaran dan melengkapi. Sekolah inklusif juga diharapkan bisa membangun empati siswa dalam kehidupan sosial. Akan tetapi  program ini bukanlah  proyek yang mudah dan perlu waktu yang relatif panjang untuk mencapainya.

Webinar ini ditutup dengan closing statement dari semua narasaumber dan Bekti memberikan kalimat  yang indah “Tidak ada ciptaan yang salah, mari membuat anak mengeluarkan potensi yang dimiliki sesuai dengan karakter masing-masing anak”. (Yohanes Handharu Pratistha)