Padepokan Perempuan GAIA dan Spirit yang Diembannya

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Seluruh tulisan ini adalah bersumber dari pertemuan virtual lewat zoom meeting yang diselenggarakan pada Senin, (8/3) bertajuk diskusi ulang tahun ke-25, Padepokan perempuan GAIA memaknai diri kini dan kelak.  Dibuka dengan paparan pendirinya, Nunuk Murniati, bahwa latar belakang padepokan perempuan ini memiliki visi dan misi serta berbagai kegiatan. Tahun 2014, GAIA memperbarui manajemen karena tongkat estafet perlu diwariskan kepada generasi penerus dan perlu penyegaran. Tahun 2016 dipilihlah nama Padepokan Perempuan GAIA dan menjadi perkumpulan untuk siapa saja, khususnya generasi muda. Dengan dua orang pengasuh yakni Nunuk Murniati dan Myra Diarsi, pengelolaan Padepokan Perempuan GAIA oleh tim manajemen (collective leadership) yang bernama tim penggerak. Mengapa dinamakan tim penggerak sebab menghindari kata pengurus karena cenderung patriarkis hirarkis.

Yuniyati Chuzaifah, purnabakti komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa orang-orang seperti Nunuk dan Myra merupakan begawan-begawan yang mempunyai peran penting untuk dilanjutkan. Menurutnya diskusi intelegensi dan afeksi perlu dilanjutkan dalam tradisi GAIA. Keteladanan sosok feminis seperti Nunuk perlu ditindaklanjuti. Pengalaman Nunuk yang menulis tangan untuk mendampingi kasus Mary Jane dengan segala keterbatasan hingga dapat mengakses penjara dan mendapatkan data dengan duduk bersama selama tiga hari. Data tersebut dapat membuat Mary Jane terbebas dari tuntutan. Saat para pihak mengklaim jasanya melalui media dalam kasus Mary Jane, Nunuk bekerja dalam sunyi.” Ini adalah suatu keteladanan yang perlu untuk dipelajari,”ungkap Yuniyati.

Ada beberapa pemikiran Yuniyati yang dapat dijadikan masukan untuk Padepokan Perempuan GAIA antara lain ; pertama,  kekerasan yang banyak terjadi adalah konflik. Pemulihan pasca konflik masih minim, utamanya konflik politik yang sudah masuk ke desa sehingga penting untuk membangun pemulihan kolektif. Kedua adalah menguatnya radikalisme. Di Yogyakarta ada seorang teman yang punya tetangga perukyah dengan perempuan bercadar dan teriak-teriak. Ada ruang pengetahuan yang masih kosong untuk menarik orang-orang yang berhijrah dalam fundamentalisme/indoktrinasi agama ke dalam kesadaran feminis. Ketiga adalah orang yang divonis hukuman mati atau hukuman seumur hidup merasa tidak punya harapan/rencana adalah orang yang perlu didampingi untuk melahirkan knowledge baru. Orang-orang ini adalah orang yang ada di dalam karpet karena jarang dapat diakses, keempat adalah pemulihan jarak jauh bagi orang yang depresi sebagai akibat dari pandemi. Kelima mengembangkan pengetahuan pendampingan pasca pandemi bagi orang yang mendampingi pasien covid baik yang survivor maupun yang meninggal.

Masukan-masukan tersebut langsung ditanggapi oleh moderator diskusi yakni Myra Diarsi bahwa GAIA saat ini sedang mengembangkan kegiatan dalam kesunyian yang tidak banyak dilihat orang, utamanya sebagai dampak pandemi yang saat ini masih berlangsung. Padepokan Perempuan GAIA diharapkan akan dapat menggunakan platform media online untuk dapat memperluas keanggotaan dan pengetahuan tentang feminisme ke khalayak ramai.

Sana Ullaili memiiki kesan yang lain, bahwa belajar feminisme dari Nunuk tidak hanya pengetahuan, tetapi juga membangun dan memperkuat kesadaran feminis yang situasianya naik turun dalam situasi kekerasan yang pernah dialami sebelumnya. Ini adalah perjalanan panjang yang berharga untuk memaknai situasi terkait dengan radikalisme yang semakin menguat. Anggota Serikat Perempuan  Kinasih rata-rata berasal dari pendidikan agama yang sangat kuat. SP Kinasih membuat belajar bahwa agama adalah salah satu jalan untuk mempelajari spiritual hidup. Training SP Kinasih selalu melibatkan Nunuk. Dengan demikian maka, SP Kinasih dan Padepokan Perempuan GAIA akan terus bekerja sama. Di era digital ini ia berharap bagaimana padepokan tidak hanya mentransfer pengetahuan tentang feminisme, tetapi juga relasi/sentuhan untuk meneguhkan bahwa belajar feminisme bukan hanya soal menambah pengetahuan, tetapi juga kesadaran baru yang tidak hanya selesai dalam beberapa hari. Proses dalam kepengurusan SP Kinasih saat ini juga sudah mulai melakukan perubahan strategi dan metodologi yang berkaitan dengan training feminis yang berhenti.

Sana menambahkan bawha kemudian ada pembangunan kesadaran gender. Namun, kurang efektif karena pertemuan hanya seminggu sekali. Tantangan saat ini, menghadapi generasi milenial sangat berbeda, beragam, dan besar. “Kadang kita berbicara feminisme, namun tindakan yang dilakukan belum feminis,”ujar Sana.  Ia mengaku jika mengalami kesulitan akan bertanya ke Nunuk. Namun, jika akan bertemu dengan Nunuk ia ragu-ragu karena mempertimbangkan usia dan khawatir sebagai pembawa virus. SP Kinasih perlu orang seperti Nunuk untuk dapat belajar feminisme secara mendalam, tidak hanya melalui media sosial yang dinilai dengan jumlah follower saja.

 

Padepokan Perempuan GAIA Tetap Hidup dalam VISI dan MISI

Haryati Panca Putri dari Yayasan YAPHI tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun untuk Padepokan Perempuan GAIA yang hingga hari ini tetap hidup dalam visi dan misi. Ia menceritakan berkenalan dengan Nunuk, Judith, Myra, dan Yuniyati pada awal tahun 1990-an dalam Kelompok Perempuan Sadar (KPS). Kemudian ada proses mendirikan padepokan yang menjadi sumber pengetahuan kemudian melakukan pelatihan untuk membangun kesadaran melawan budaya patriarkat yang sangat kental saat ini. Menurut perempuan yang akrab dipanggil Putri, teknologi merupakan tantangan kita hari ini. Gerakan perempuan menyelamatkan bumi juga menjadi salah satu fokus sebab gerakan hari ini sebagai akibat dari kerusakan dan perusakan bumi yang diakibatkan oleh manusia. Ia melihat keteladanan yang kurang dalam kehidupan Indonesia hari ini namun di Padepokan Perempuan GAIA, masih ada keteladanan yang patut untuk ditiru. “Ke depan YAPHI dan Padepokan akan terus bekerja sama,”pungkasnya.

Andi Yentriyani, Ketua Komisioner Komnas Perempuan selain berucap selamat hari perempuan sedunia juga berharap semoga semua terus mampu untuk menjadi bagian memajukan hak-hak perempuan. Menurutnya akar kekerasan terhadap perempuan adalah diskriminasi. Feminisme dan gender sebagai titik tolak alat analisis untuk melihat konstruksi siapa laki-laki dan siapa perempuan; serta untuk mengetahui siapa yang tersingkirkan dalam konstruksi tersebut. Dalam 5 tahun di Komnas Perempuan mempunyai ruang main yang berbeda untuk melihat konteks perempuan dari jauh dan melihat Kembali kesempatan untuk membangun ruang mendidik dengan feminisme sebagai titik tolak dalam berkarya seni. Ia menambahkan bahwa diskusi tentang feminisme perlu dilakukan secara berbeda melalui ekspresi sistem budaya

Kemungkinan perjumpaan Komnas dan Padepokan Perempuan GAIA berangkat bahwa feminisme sudah berkembang begitu jauh, sedangkan modul tertinggal. Namun jika melompat juga terlalu bersiko jika diperkenalkan langsung kepada post/pasca. Ia menegaskan bahwa ada gap antara kebutuhan untuk memahami dasar sekaligus untuk dapat memahami perkembangan hari ini.

Di Komnas Perempuan, gap ini sangat sulit untuk disikapi karena peran pendidikan dasar dianggap untuk NGO. Padahal untuk dapat melihat konstruksi konflik lingkungan dan SDA hari ini dalam memengaruhi aspirasi masyarakat lokal perlu pandangan feminisme yang komprehensif. Tanpa pandangan feminisme yang berjenjang, hasil analisisnya bisa sangat jauh. Ruang kerjasama tidak hanya kegiatan, tapi juga mengisi gap tersebut. Ke depan ia berharap dapat bekerja sama mengembangkan modul untuk dapat mengisi gap antara pendidikan dasar dan menanggapi perkembangan.

Saat pandemi ini, ruang untuk membangun informasi publik ini sangat penting dikelola di media sosial supaya tidak kehilangan relevansi.

Komnas perempuan saat ini fokus pada legislasi, misalnya revisi RUU Penanggulangan Bencana. Jika tidak ada tata kelola yang baru, bencana seolah sederhana given dari Tuhan. Padahal merupakan dampak dari tata kelola yang destruktif dan tidak berkelanjutan. Saat ini dan pasca pandemi fokus adalah untuk menghadapi masalah pengangguran dengan kualitas SDM dengan kualitas tidak terlalu baik. Itulah mengapa yang dieksploitasi adalah SDA. “Ke depan dapat bekerja sama secara teknis dan praktis di tiga ruang tersebut,” ungkap Andi.

 

Ketika Generasi Muda Padepokan GAIA Bersuara, Bergerak Sesuai Zaman

Asti bergabung di GAIA tahun 2015 dengan situasi tidak paham sama sekali isu perempuan, meskipun ketika  kuliah pernah ikut kegiatan Nunuk sebagai fasilitator kegiatan HAM. Asti mengakui bahwa perspektifnya  sangat dipengaruhi oleh padepokan yang memberikan kontribusi pemikiran dan role model. Ia bersama dengan Ajeng, Novi, dan Vera pada waktu itu pernah ribut saat membuat logo dan diskusi. Saat itu ia juga sedang menuju survivor sekaligus anggota. Asti ikut terlibat dan mengorganisir kegiatan GAIA di Syantikara, termasuk potensi yang terus dikembangkan sebagai Event Organizer untuk mencari dana dan  tempat acara bersama Novi. Tahun 2016 dan 2017 bersama Novi dan teman-teman lain, menyelenggarakan dialog politik dengan narasumber Myra Diarsi dan Maria Roewiastuti dengan mengedarkan undangan dengan segala proses dinamika. Kemudian tahun 2018 ada Widya, Atika, dan Kiki membuat acara di rumah Asti di Wirobrajan dan yang hadir 100an orang. Tahun 2019 Asti menjadi ketua panitia launching buku. Ia  berjejaring dengan organisasi yang dikelola dan membuat acara dengan jaringan yang dimiliki oleh GAIA khususnya di bidang hukum.

Kiki, generasi muda lainnya berbicara bahwa ia mengalami kekerasan seksual saat SMP dan mengolah bersama dengan romo. Kemudian dikenalkan kepada Nunuk dan mendapatkan konseling. Ia merasa punya teman bahwa masalah yang dialami juga dialami oleh orang lain. Ia berpesan jangan berpikir dikotomis karena hidup ini adalah proses (internal), secara eksternal ia mengarahkan teman yang punya masalah yang sama untuk konseling dengan Nunuk. Setahun terakhir karena sibuk tesis, ia tidak lagi berkegiatan dalam Padepokan. Ia merasakan kontribusi GAIA kepadanya adalah memberikan pandangan tentang pengetahuan. Ia berharap ke depan GAIA lebih terbuka lagi dan semakin banyak menyebarluaskan kesadaran misalnya dengan kegiatan diskusi virtual.

Padepokan GAIA membantu pemulihan diri untuk berdamai dengan pengalaman diri: kesadaran riil dan kesadaran potensial. Demikian dikatakan Ani Rufaida. Saat itu sebagai Community Organizer di Rifka Annisa, berdamai dengan pengalaman ini sangat bermanfaat ketika mendampingi dengan masyarakat untuk dapat mendengar pengalaman masyarakat berlatar belakang pesantren dan dapat membantu teman-teman di komunitas itu. Kesadaran feminisme yang kuat membantu untuk selalu ingat bagaimana mengasah kesadaran dalam melihat fenomena. Ia mengakui bahwa pasiion GAIA adalah di bidang konseling dan mendapingi komunitas. Ke depan ia berharap GAIA beradaptasi dengan era, dengan melakukan pendokumentasian di media sosial agar bisa diakses oleh milenial dan generasi Z atau “Gen Z”. Perlu dibahas siapa yang ngomong, tentang apa, dan bagaimana teknis pendokumentasiannya.

Berbeda yang dilakukan oleh Zaki. Ia mengaku sering ikut main ke rumah Nunuk di tahun 2018 setelah berkenalan dengan Asti untuk ikut diskusi dan melakukan dokumentasi. Ia tertarik bergabung, namun belum jadi anggota. Ia mengenal feminisme dari pemikiran Nunuk. Menurutnya Padepokan Perempuan GAIA ikut berkontribusi besar dalam gerakan perempuan Indonesia. Saat ini kontribusi Kiki ada di bidang fotografi dan website, publikasi media sosial serta  optimalisasi media sosial.

Lain cerita Widya, menurutnya GAIA adalah rumah yang membebaskan. Kali ini ia berusaha me-recall momen bersama Nunuk yang dipersatukan dengan perjamuan di meja makan. Ia lalu belajar dinamika berorganisasi dengan berbagai karakter. Ia ingin belajar lebih karena semakin masuk di GAIA semakin didekatkan dengan realitas banyak kasus kekerasan terhadap perempuan

Ada banyak perubahan yang terjadi pada diri Widya. Ia menjadi berani untuk speak-up ketika ada ketidakadilan yang dialami oleh orang lain di sekitarnya. Ia juga mensupport orang lain untuk speak up. Widya memiliki passion di dunia digital dan melakukan ngobrol dengan Nunuk lalu direkam, kemudian di-upload di YouT ube dan dapat menjadi pencerahan bagi orang lain. Menurutnya pendokumentasian dapat membantu pencerahan bagi orang lain. Ia berharap GAIA perlu lebih sering melakukan kegiatan diskusi untuk mengasah pengetahuan secara ajeg.

Wiwit Sawitri menyatakan keresahannya untuk membuat pojok klinik/konseling. Setahun terakhir ia memegang konseling kespro di Reutgers, terkait aborsi. Ini merupakan konseling online terbatas dan lebih ke arah konsultasi untuk analisis plus dan minusnya. Harapannya, perlu dibangun referral sistem, sehingga punya rujukan jika akan mengambil tindakan konkrit. Menurutnya UGM ada mahasiswa yang punya pengalaman kekerasan seksual. Dan ketika sudah speak up, tidak mendapatkan tempat konseling yang tepat; sehingga belum selesai dengan masalah yang dialami. Selain itu, menurutnya hal yang perlu dilakukan adalah menghidupkan kembali diskusi online untuk merebut ruang bagi generasi muda.