Catatan Rapat Konsolidasi Jaringan Visi Solo Inklusi Evaluasi Sosialisasi Perda

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Perda  Surakarta nomor 9 Tahun 2020 telah disahkan pada akhir Desember 2020 lalu, Beberapa orang pegiat disabilitas yang mengawal penyusunannya dari mulai draft hingga jadi naskah kemudian berinisiatif menggandeng Yayasan YAPHI maka terbentuklah  Jaringan Visi Solo Inklusi yang tiga bulan pasca perda diundangkan, melakukan diskusi-diskusi menghadirkan beberapa pemangku kebijakan.  Pada rapat jaringan via zoomeeting yang diselenggarakan pada Sabtu (5/6) ada beberapa catatan yang menjadi pijakan dari jaringan ini untuk melakukan langkah-langkah ke depan.

Terkait sosialisasi perda yang dilakukan oleh komunitas-komunitas,  beberapa orang telah melakukannya dengan tanpa kendala yang berarti seperti yang disampaikan oleh Astuti dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Solo Raya yang melakukan sosialisasi secara luring, berbarengan dengan acara komunitas. Ia juga memperkenalkan kelahiran perda ini secara daring pada satu sesi siaran rutin kerja sama KPSI Solo dan Solopos Fm.   

Agustina Wanisari Rahutami dari komunitas Mother Hope Indonesia (MHI) dan Bipolar Care Indonesia mengatakan bahwa sosialisasi yang dia lakukan baru tahap pengenalan terminologi disabilitas. Lewat group WhatsApp yang beranggotakan lebih dari 100 orang, tidak semua memiliki pengetahuan tersebut. Agustina melakukan pengenalan perda ini dengan bertahap. Ia telah berencana membuat media yang lebih dipahami oleh kawan-kawan di komunitas seperti media visual dengan membuat infografis.

Kesulitan saat melakukan sosialisasi diungkapkan oleh Yulianto pegiat di komunitas Persatuan Tuna netra Indonesia (Pertuni), bahwa meski salah seorang anggota jaringan telah memfasilitasi dengan pengunduhan mesin suara dan meng-convert-kan dalam bentuk audio, tetapi masih banyak hal yang sulit dipahami sebab akan berbeda jika pengalihwahana-an itu disuarakan oleh manusia. Yulianto berharap ada relawan yang menggandeng komunitas Difalitera untuk mewujudkan perda yang bersuara.

Berbeda dengan Misbahul Arifin, pegiat di Ikatan Tuna Netra Muslim Indoensia (ITMI) menyatakan banyak anggotanya yang paham terkait perda dengan media MP3 yang sudah ada, namun ada yang menurutnya lebih penting dari itu yakni kegunaan perda ini. Sebab banyak sekali disabilitas netra yang di masa pandemi ini kehilangan pekerjaan  dan apa jadinya jika mereka kemudian acuh tak acuh dengan perda. Padahal ada beberapa masalah yang mereka hadapi seperti pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh dinas terkait bagi netra selalu sama setiap tahunnya, yakni memijat.

Shemmy Samuel dari  Tim Koordinasi  Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) telah memperkenalkan dan mensosialisasikan perda ini di Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Ia berharap dengan pemahaman dari OPD-OPD maka ada upaya afirmasi untuk memasukkan anggaran dalam program-program mereka yang berperspektif disabilitas.

Rapat konsolidasi kemudian mengerucut pada rencana rapat konsolidasi kembali untuk membahas apa saja yang dibutuhkan sebelum berpikir ke arah membuat draft perwali. Seperti diamanatkan oleh perda ini, ada sembilan perwali yang rencananya menjadi aturan turunan. (Astuti)