Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (Komasipera) yakni komunitas yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil di Kota Surakarta mengadakan diskusi yang bertempat di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI Surakarta, Rabu, 4/9/2024.
Diskusi yang diawali dengan perkenalan dari masing-masing organisasi dan sedikit narasi tentang sepak terjang mereka serta isu-isu di masyarakat dampingan dan cakupan wilayahnya kemudian mendengarkan paparan narasumber.
Mahmudi, narasumber yang mengawali paparan mengemukakan hasil dari cerita-ceritq para pendamping, bahwa masih banyak di Solo terkait kemiskinan yang ekstrem, serta korban yang tidak mendapat keadilan. Ia menjelaskan bahwa di negara yang baik dan efektif ada kekuatan yang memaksa negara menjadi baik. Kekuatan tersebut adalah masyarakat sipil itu sendiri
Negara dan masyarakat sipil memiliki hubungan yang kompleks namun dinamis dan perlu juga dilihat masyarkat sipil maupun negara ada dibagian mana, sehingga mengetahui akan kekuasaan dan juga perlu dilihat watak dasarnya.
Dari cerita yang disampaikan Pamikatsih, seorang pegiat difabel dan pengajar kelas GEDSI, yakni masyarakat sipil di entitas disabilitas ada keberhasilan untuk memberikan edukasi dan ideologisasi, sehingga tidak ada tabrakan antara difabel dengan difabel. Ini ternyata tidak hanya terjadi pada kelompok difabel saja namun juga petani.
Terkait hubungan antara negara dan masyarakat sipil bisa menjadi konfrontasi, yakni ketika negara tidak efektif dan masyarakat sipil yang kuat. Contohnya seperti proses pembuatan kebijakan dilakukan dengan konfrontasi, dimana masyarakat yang lemah tidak memberikan masukan dari kebijakan, artinya ketiadaan partisipasi bermakna. Kebijakan ini bisa dibuat konfrontasi yakni dengan membuat kebijakan bandingan (alternative policy).
Ada pola relasi yakni konfrontatif seperti Gerakan RUU Pilkada, pola partisipatif dan kolaboratif, serta pola alternatif (ada bagian yang bisa diterima dan tidak diterima oleh negara).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat maupun organisasi seharusnya menjadi kewajiban negara (edukasi, administrasi, inovasi sosial) dan di Indonesia yang paling dominan adalah pola partisipatif dan kolaboratif
Pola berpikir negara awalnya baik namun karena ada uang dan harus membuat proyek, maka hal tersebut digunakan sebagai formalitas dan proyek semata. Contohnya seperti desa siaga, dimana masyarakat akan diurus oleh desa dan masyarakat, hingga desa menjadi desa yang mandiri dan berdikari tanpa membeda-bedakan masyarakat.
Desa siaga kemudian didengar oleh bupati, sebab desa mempresentasikan, dan pada akhirnya diadopsi oleh kepentingan pejabat. Hal ini disebabkan karena adanya hasrat politik guna menaikkan nama.
Ada dua macam masyarakat sipil yakni yang kuat dan lemah. Masyarakat sipil yang kuat adalah masyarakat yang bisa mengorganisir dan memperjuangkan kepentingan mereka, sedangkan masyarakat sipil yang lemah adalah masyarakat yang pasif untuk mendapatkan kepentingan mereka dan tidak bisa mengorganisir untuk kepentingan mereka.
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) tidak representasi dari masyarakat sipil, namun OMS sendiri dianggap sebagai organisasi masyarakat sipil sehingga akan ada kesenjangan antara masyarakat dengan OMS dan akan menimbulkan permasalahan. Dan untuk zaman sekarang telah terjadi pergeseran paradigma di masyarakat seperti di orde baru hingga reformasi
Mengenai paradigma di orde baru seperti sepenanggungan dalam satu profesi, aktif dalam membuat organisasi/perkumpulan, ada kedekatan fisik, ada tokoh, ada kelembagaan hingga yang berbadan hukum. Dalam orde baru, dipaksa menjadi berbadan hukum guna untuk memaksa kepentingan kekuasaan,
Saat reformasi, muncul organisasi masyarakat sipil melalui gagasan, seperti tidak ada tokoh, komunikasi tidak dengan komunikasi langsung (digital). OMS semakin tidak efektif dan kurang strategis. Bahwa OMS masa kini tidak kuat, perlu dikaji untuk stateginya.
Di dunia internasional, ada indeks untuk masyarakat sipil, seperti kebebasan masyarakat sipil, fungsi dan prinsip pemerintah, budaya politik, nilai dan norma etika.
Senjata yang paling ampuh terhadap pemerintah adalah kontrol masyarakat sipil terhadap pajak, misalnya. Seperti yang terjadi di Jerman, masyarakat sipil yang curiga mengenai penggunaan pajak negara, maka mereka bisa mengajukan audit mandiri kepada pemerintah
Vietnam di tahun 2001 terkait energi terbarukan yakni biogas. Mereka belajar di Indonesia namun saat presentasi di China, Vietnam memiliki energi biogas yang melampaui Indonesia. Di Vietnam pengembangkan biogas dilakukan dengan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat sipil (petani). Dahulu tahun 1996, Vietnam tidak bisa menanam padi sendiri, namun kemudian belajar ke Indonesia. Di tahun 2004, padi Indonesia dimport dari Vietnam, sehingga Vietnam bisa menjadi percontohan untuk negara yang partipatif dan kolaboratif. Di Indonesia perlu dilihat tingkat kesejahteraan dan kemampuan keluarga untuk menolong keluarga yang lain.
Peran masyarakat sipil seperti keniscayaan terhadap demokrasi, kontrol terhadap kebijakan, partisipasi masyarakat sipil, advokasi, penyelesaian masalah secara mandiri, inovasi dan kreatifitas, dan peningkatan kapasitas.
Masyarakat sipil dalam melakukan advokasi masih terbatas dan dari advokasi tersebut mengharapkan bahwa bisa mempengaruhi kebijakan yang masuk dalam kepentingan masyarakat sipil
Kesulitan dari masyarakt sipil adalah tidak memiliki data dan jika memiliki data maka tidak bisa membaca. Data yang dimiliki masyarakat bisa menjadi senjata untuk pemerintah, Dimana data perlu data yang lengkap sehingga tidak terbantahkan.
Masyarakat sipil dalam proses kebijakan seperti advokasi guna mempengaruhi kepentingan publik, partisipasi dalam pemilu, dialog dan diskusi dengan kolaboratif
Masyarakat sipil dengan tatangannya seperti perubahan kebijakan yang membatasi gerak OMS, kesulitan mengakses sumber daya, kesulitan mengakses sumber daya (sulit mengakses pendidikan) dan penguasaan teknologi. Masyarakat sipil yang berhadapan dengan oligarki, dimana Masyarakat sipil melemah karena kuatnya oligarki dengan kekuasaan yang dikontrol oleh elit, namun di Indonesia tidak hanya elit saja, juga sekelompok orang kaya, sehingga tidak hanya oligarki namun otokrasi juga. Bahwa kemudian muncul konvergensi, baik oligarki maupun otokrasi menjadi satu. Konvergensi muncul maka masyarakat menjadi lemah.
Untuk menjadi masyarakat sipil zaman sekarang sulit untuk melakukan kontrol politik, sulit akses keadilan, sebab banyak praktek jual beli kebijakan, sehingga pengawasan masyarakat menjadi sulit.
Kebijakan negara yang kontroversi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang melemahkan masyarakat sipil yakni meningkatkan investasi namun tidak memikirkan masyarakat secara luas. Tidak hanya UU Cipt Kerja namun juga seperti kebijakan terkait COVID-19, kebijakan hutan, analis ekonomi, kebijakan kenaikan PPN yang menjadi beban (rokok), kenaikan UKT.
Dari uraian di atas maka menjadi bagian penting bagi studi analisis kebijakan, apakah kebijakan publik menjadikan OMS kuat atau lemah.
Dampak Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim untuk perempuan dan anak-anak seperti suhu yang tinggi (akan membuat mutase gen yang tak terkontrol), ancaman krisis pangan, ancaman krisis air (Sungai Amazon kering, Dimana akan menjadi konflik dalam hutan), hampir seluruh sungai besar mengalami penurunan dan pengalaman iklim sehingga akan menjadikan migrasi dan konflik (Asia Selatan yakni china membuat 11 bendungan dan negara asia yang lain akan mengalami kekeringan, Afrika yang semakin kekeringan).
Anak-anak harus meninggalkan sekolah untuk membantu keluarga untuk mencukupi perekonomian, potensi KBG (kenaikan harga, lemahnya daya beli), 50% penduduk dunia akan mengalami depresi, PHK besar-besaran seperti perusahaan pakan ternak, dan sulitnya bahan baku import, perlunya presfektif gender. Perlu untuk mengintergrasikan antara perfektif gender dan perubahan iklim
Upaya perlindungan yang relevan seperti edukasi, membangun kesadaran (workshop dengan ibu-ibu untuk pemanfataan tanah, yang mengubah desa menjadi produsen), pemberdayaan ekonomi, infrastruktur yang tahan iklim (memiliki aksesibilitas yang tinggi), rekayasa alam dan rekaya sosial/inovasi (guna menurunkan stress anak dan Perempuan).
Salah satu problem peran masyarakat sipil di Indonesia, yakni keterbatasan, politik uang, korupsi, hubungan negara dan masyarakat sipil.
Ida dari Komasipera menanggapi bahwa apa yang disampaikan oleh Mahmudi belum bisa semuanya diterapkan di Kota Solo. Ia menjelaskan mengenai Komasipera, dimana anggota Komasipera banyak yang tidak aktif. Ida juga bertanya mengenai bagaimana menyatukan gagasan serta strategi dari berbagai hati nurani, sehingga bisa menggugah masyarakat dengan rasa kepedulian dan mandiri. Dan bagaimana mengenai bentuk atau cara mengkoordinasikan masyarakat yang hetero dengan penerimaan yang berbeda-beda, sehingga bisa menyatukan dalam sebuah OMS.
Permasalahan lain disampaikan oleh Haryati Panca Putri mengenai penyusunan kebijakan oleh stakeholder yang menjadikan NGO/OMS hanya sebagai pelengkap saja. Bersama-sama masyarakat sipil, NGO/OMS mereka mempertanyakan Naskah Akademik sebagai langkah awal pembuatan aturan kebijakan dibuat dengan menggunakan data pustaka, sehingga kebijakan tidak bisa menjawab permasalahan karena tidak sesuai dengan data riil di lapangan.
Problemnya lagi, masukan-masukan dari NGO/OMS tidak ditanggapi dan kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya sebagai proyek untuk menghabiskan anggaran. Pelibatan NGO/OMS yang diundang hanya sebagai hearing dan diundang h-1 sehingga tidak bisa mengkritisi.
Pertanyaan berikutnya adalah mengenai beberapa hak perempuan dan anak dalam hal perubahan iklim hanya menjadi sasaran saja tanpa partisipasi bermakna. Lantas bagaimana mengubah paradigma yang sama dalam pemerintahan meskipun ke depan dengan pemerintahan yang baru.
Mahmudi memberi contoh salah satunya tentang buruknya sistem pelayanan kesehatan. Menceritakan bahwa tahun 2000-an pernah mengikuti pelatihan di Kuba dan tertarik dengan system di Kuba, dimana di Kuba kalau ada orang sakit, cukup dirumah, maka dirumah akan dikirimi dokter dan ambulance. Orang sakit tidak boleh disentuh oleh siapapun dan hanya dokter. Di Kuba juga ada polisi pendidikan, dimana pada jam sekolah, mereka meninjau anak-anak yang tidak sekolah, dan jika ada anak yang tidak sekolah (anak yang membantu orang tua mencari nafkah), maka polisi pendidikan akan melakukan assestmen hingga rekomendasi mengenai apa yang dibutuhkan. Jerman juga memiliki lembaga perbankan guna mengurusi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hal ini salah satu penyelesaian soal sistem dari pemerintah yang memanusiakan rakyat.
Dahulu Indonesia menggunakan sistem kerajaan yang tidak ramah terhadap rakyat, kemudian setelah menjadi Indonesia, di adopsi lagi dimana rakyat dianggap sebagai symbol dan tidak ada memanusiakan rakyat. Penguasa yang berkuasa menganggap bahwa seolah-olah Indonesia milik satu orang penguasa.
Mahmudi menjelaskan mengenai partisipasi. Genuine partisipasi yang sesungguhnya harus berujung pada proses kebijakan dan ada distribusi kewenangan antara negara dan masyarakat sipil. Jika dilakukan manipulative participation maka masyarakat harus berjuang guna kepentingan masyarakat.
Perjuangan masyarakat sipil sampai mendekonstruksi kebijakan, perlu bantuan dan forum-forum dibutuhkan guna peningkatan kapasitas (people knowledge common), dimana pengetahuan tidak dari kekuasaan.
Mahmudi menceritakan 15 tahun yang lalu melawan dengan menggunakan pendekatan ekonomi mikro, dimana tidak percaya dalam peningkatan ekonomi. Berapapun pendapatan maka akan ada hegemoni oleh pasar. Menggunakan ekonomi mikro bisa dilihat dari belanja rumah tangga, sehingga bisa dilihat dari apakah masyarakat terpengaruh oleh pasar atau tidak. Menggunakan analisis belanja rumah tangga, maka akan mendapatkan analisis permasalahan dan bisa melawan birokrasi maupun meningkatkan kesadaran dengan cepat.
Pemetaan dari analisis desa yang ditangani oleh Mahmudi, dimana dalam satu desa bisa lebih dari 1 milyar untuk pengeluaran rumah tangga. Dari temuan data tersebut, maka perlu dilakukan refleksi guna memetakan kemampuan masyarakat untuk peningkatan ekonomi Masyarakat.
Kemiskinan struktural memunculkan kesadaran yang kolektif. Pemberdayaan dilakukan dalam 7 desa dampingan Mahmudi seperti membuat riset dan penelitian bersama dengan memanfaatkan SDM yang ada di desa-desa tersebut.
Meski melawan dan tidak konfrontatif, namun dengan riset dan data yang tak terbantahkan hingga visualisasi, sehingga bukti tersebut bisa menjadi senjata.
Vera menanggapi bahwa perlu ada diskusi kembali dan refleksi kali ini tidak bisa memberikan kesimpulan. Ia menanggapi bahwa OMS adalah harga mati dan tidak bisa mengharap kepada penguasa yang oligarki dan konvergensi.
Diskusi ditutup oleh Haryati Panca Putri dan menjelaskan bahwa harus tetap kembali ke ruang masing-masing dan bisa menjadi kekuatan luar biasa. Dan menegaskan kembali bahwa tidak perlu mengharapkan campur tangan dari negara namun lebih kepada kemampuan sendiri. (Renny Talitha/ Ast)