Partai Nasdem jelang kongres yang diadakan pada pada 25-27 Agustus ini pernah mengadakan acara beberapa waktu lalu berupa simposium. Simposium dibuka oleh Taufik Basari menghadirkan beberapa perempuan pakar hukum. Salah satunya Prof. Sulistyowati Irianto, yang menyampaikan bahwa setiap orang bicara tentang negara hukum tetapi lantas apa pengertian tentang negara hukum?
Sebagai pengantar Prof. Sulistyowati mengutip Profesor Adriaan Bedner dari Leiden Law School yang profesorshipnya adalah law and society in Indonesia. Jadi ia ahli Indonesia dan mengerti betul bagaimana situasi hukum dan masyarakat di Indonesia. Tidak pernah ada pengertian yang tuntas tentang negara hukum atau rechstaat, rule of law, dalam germanic language tidak pernah ada yang tuntas karena debat akademiknya berlangsung ratusan tahun sejak zaman Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas dan ternyata di tahun 1990-2000 an debat tentang negara hukum muncul lagi dari penulis-penulis yang relatif muda.
Lalu Prof. Adriaan Bedner berusaha memisahkan debat-debat itu apa saja sehingga mendapatkan stuktur atau anatomi apa saja yang sedang dibicarakan. Variasi negara hukum sangat banyak tergantung soal waktu di negara mana (tempat) dari penulis ke penulis itu variasinya.
Bagaimana profesor itu mendebat tentang negara hukum. Yang pertama kategori soal prosedural element yakni bagaimana cara goverming dan legality dalam menata negara supaya dapat dicegah penyalahgunaan kekuasaannya. Dalam kategori pertama, negara hukum itu pendapat-pendapatnya menyatakan yang disebut negara hukum itu harusnya hukum-hukumnya tertulis (hukum negara), regulasi dan instrumen hukum lain sebagai instrumen yang akan membatasi agar ketika penguasa negara membuat hukum maka tidak bisa semaunya. Sudah ada hukum yang mengikat dia dan itu terkait dengan komponen berikutnya. Bagaimana state action itu subjek dari hukum jadi penguasa atau penyelenggara itu subjek dari hukum. Dia terikat pada hukum dan itu terkait persamaan di muka hukum bagi semua.
Lalu hukum harus ditulis secara jelas dan isinya itu cukup spesifik tertentu dan bisa diakses. Dan predictable untuk semua dan bisa diaplikasi umum, seperti jika-maka, jika engkau berbuat tertentu maka risikonya akan begini. Ini menyangkut soal formal legalitas. Tentu saja hukum itu dalam proses-proses pembuatannya harus disetujui, ada konsen dari perumus dan partisipasi publik yang bermakna. Di situ ada demokrasi. Demokrasi menjadi pilar yang penting dalam hal ini. Kategori kedua: adalah unsur yang substantif. Bahwa hukum itu harus memastikan bahwa dia menjadi save guard, dari sistem-sistem hukum yang ideal dan menjadi patokan
Generasi pertama : Negara hukum sebenarnya perlindungan kepada individu dan kebebasan kebebasan yang sebenarnya ini adalah hak politik dan hak memiliki.
Generasi kedua mengatakan : negara hukum itu negara exist untuk individu dan mereka bicara tentang social human right atau welfare 3. Proteksi kepada hak kelompok. Mengapa ini menjadi penting? Karena hari ini misalnya di Indonesia, kita tidak bisa bilang Justice for All karena masyarakat itu berlapis-lapis upper class, middle class. Antara orang paling miskin dan paling kaya itu kurangnya besar sekali jadi sekarang baru bisa bilang affirmatif justice for the poor, justice for woman, kategori ketiga : negara hukum membicarakan pengadilan yang independen. Terutama bisa mengilustrasinya pada Trias politica , ada pemisahan kekuasaan, dan yang mematikan adanya balancing kekuasaan itu adalah pengadilan yang imparsial. Tidak berpihak. Kalau tidak berpihak maka dia imparsial. Tetapi pengadilan independen itu dipandang tidak cukup. Indonesia sejak 1998 meluaskan mekanisme kontrol ini menjadi Komisi Yudisial, Ombudsman, Komnas HAM, KPK. Situasi Indonesia sama dengan negara lain.
Tentang Teori perempuan menurut Prof. Sulistyowati. Mengapa dibutuhkan teori perempuan bagi perempuan untuk mengadvokasi kebijakan dan instrumen instrumen hukum? agar mengakomodasi kebutuhan dan prioritas mereka. Teori-teori perempuan berbeda dengan teori yang bicara soal rumus-rumus tetapi perempuan berangkat dari pengalaman pengalaman, realitas-realitasnya lalu itu dituliskan kemudian menjadi pengalaman bersama,
Ada teori hukum feminis. Ada kombinasi antara teori feminisme dan teori hak asasi manusia dan teori hukum. Teori feminisme adalah adanya pengakuan terjadinya penindasan terhadap perempuan dalam berbagai ranah oleh karena itu ada Cedaw Convention. Lalu ingin menggunakan lensa feminis artinya keberpihakan terhadap para perempuan korban. Kemudian HAM sebagai pondasi karena hak asasi perempuan juga HAM, dinyatakan tahun 1998 setelah kita reformasi. Undang-Undang HAM 1999 pasal 45 yang menyatakan HAM perempuan adalah Hak Asasi Manusia. Ketiga, karena penyebab terjadinya subordinasi, kekerasan, bahkan kemiskinan terhadap perempuan adalah hukum yang tidak berpihak kepada kelompok-kelompok rentan ini maka berjuangnya juga lewat hukum. Bagaimana melakukan reformasi, amandemen, dan membuat hukum-hukum baru.
Di dalam teori hukum perempuan, parameternya adalah pertanyaan perempuan kepada hukum. Jadi bagaimana perempuan, imajinasinya, seksualitasnya, kapasitasnya, peranannya dan lain-lain itu diposisikan oleh hukum, distrukturkan oleh hukum. Kalau kita melihat pasal-pasal dalam hukum itu kita lihat perempuan ditempatkan sebagai siapa?
Kedua, apakah pasal pasal itu mengakomodasi pengalaman perempuan atau tidak. Dan akan jadi penting, perempuan yang mana karena perempuan itu bukan identitas yang tunggal dan seragam. Ada perempuan yang kaya raya dan berkuasa dan ada perempuan yang besok ia makan apa belum tahu. Berikutnya adalah hukum itu mengatur isu-isu apa. Apakah betul-betul yang dibutuhkan oleh perempuan, yang selama ini berharap RUU PPRT tetapi tidak kunjung disahkan. Tapi yang didahulukan adalah revisi, yang tidak penting banget. Lalu berikutnya adalah hukum itu menguntungkan atau merugikan perempuan? Perempuan yang mana?
Ini adalah cara-cara menggunakan teori hukum feminis di dalam advokasi maupun untuk reformasi hukum terutama pada pasal-pasal yang ada, apakah pasal-pasal itu menghambat perempuan atau tidak. Banyak contoh di negara lain seperti Amerika, sebelum 1920 perempuan tidak boleh ikut dalam pemilu. Padahal Amerika ratusan tahun usia negaranya dan Indonesia baru 1930 ketika PPII berhasil mengajukan misi kepada Belanda agar perempuan boleh ikut dalam pemilu dewan kota Batavia 1930. Oleh karena pemilu 1955, perempuan boleh ikut, itu bukan sesuatu yang gratis karena diperjuangkan.
Di Kanada juga ada perempuan jadi lawyer dan banyak lagi pengalaman negara lain yang di Indonesia alami. Lalu masyarakat juga mendapati perda-perda diskriminatif kepada perempuan. Lalu akankah kita mendapatkan bahwa hukum itu netral dan obyektif? Oh tentu tidak, karena di DPR, yang suaranya paling banyak itu jadi hukum. Analisis kita harus melampaui analisis doktrinal. Analisis doktrinal itu meletakkan eksistensi hukum di dalam teks-teksnya saja dan tidak memperhatikan substansinya. Apakah teks-teks itu merugikan, membuat susah dan lain-lain itu tidak mau yang itu. Jadi kita harus menanyakan bagaimana hubungannya dengan perempuan dan ideologi.
Bagaimana pertanyaan perempuan bisa diajukan ke dalam elemen tiga struktur of law tadi (negara hukum) lalu bagaimana perumusan perempuan di dalam negara hukum hari ini termasuk putusan-putusan hukum karena putusan hukum itu. Undang undang itu tidak bisa mengejar percepatan masyarakat sehingga selalu ada gap di antara hukum dan perubahan masyarakat. Banyak yang tak bisa lagi mengakomodasi rasa keadilan jadi sangat diharapkan putusan-putusan hakim yang memberikan terobosan-terobosan. Hari ini bagaimana putusan hakim untuk kasus-kasus perempuan?
Narasumber kedua Mamik Sri Supatmi
Mamik Sri Supatmi, akademisi dan pengabdi, pengajar kriminologi UI. "Kami belajar bagaimana kejahatan dalam konteks sosial. Jadi kadang sering berbeda pendapat dengan teman-teman karena dianggap terlalu membela pelaku kejahatan. Itulah kami dan saya senang karena dunia tidak harus hitam dan putih. Ketika orang melakukan kejahatan dan kekerasan kita harus melihat konteks dan dari situ kita akan mendiskusikan rasa keadilan di dalam ruang hukum negara kita, " terang Mamik membuka sesi dalam simposium.
Beberapa topik dan beberapa isu yang akan didiskusikan terkait isu spesifik yang menimpa para perempuan tidak hanya karena ia (Memik_red) perempuan tetapi ia berada di satu titik. Di setiap ruang kehidupan dan yang dibicarakan di negara demokrasi katanya, di negara yang menegakkan hukum, katanya, kalau ada kekacauan di ruang rumah seperti ini maka yang paling menderita adalah perempuan dan kelompok rentan. Kebetulan itu isu yang ia minati.
Kemarin tgl 30 Juli adalah hari anti human trafficking . Indonesia sudah punya UU khusus yakni TPPO yang disahkan 2007 tapi mari sama-sama dilihat apakah kejahatan itu berhenti? Apakah kejahatan berkurang? Di mana masalahnya? Kita sudah punya instrumen hukum dalam kriminologi adalah instrumen yang represif. Kenapa itu diambil? Karena tidak ada jalan lain. Saking begitu seriusnya tidak bisa dihentikan dengan cara cara yang lebih lunak/shift. Hal serupa juga mari kita minta dan refleksi kembali terkait perempuan dan KDRT. UU PKDRT setelah melalui perjuangan yang berdarah-darah dari para senior yang disahkan menjadi UU PKDRT di tahun 2004. Tapi apa kabar? Apakah KDRT menurun? Catahu Komnas Perempuan, KDRT menjadi kekerasan terhadap perempuan yang paling tinggi diadukan kepada Komnas perempuan dan lembaga pemberi layanan sampai hari ini. Buat kita semua tentu menjadi pertanyaan penting dan harus kita pertanyakan, kita refleksikan, mengapa UU yang sudah ada PKDRT 2004 dan TPPO 2007 tidak lantas membuat orang korban terbebaskan dari hujan trafficking? PKDRT, apa yang salah? Kita harus berani membongkar akar persoalan dan hukum saja ternyata tidak cukup. Apakah hukumnya yang kurang pas, teks hukum yang keliru atau penegakan hukum yang payah?
Memang ada persoalan di hukum PKDRT . Sangat terbatas mendefinisikan KDRT tidak termasuk yang didefinisikan misalnya dating violence. Praktik penegakan hukum yang jauh dari harapan dari penggagas. Dalam PKDRT perempuan korban malah dikriminalisasi, mengalami victimisasi sekunder, disalahin, disuruh pulang untuk memperbaiki dirinya yang salah entah dandananny, entah masakannya, entah layanan seksualnya yang dianggap tidak memuaskan. Seringkali kemudian pelaku KDRT yang sesungguhnya ketika dilaporkan menyerang balik perempuan korban dan sayangnya polisi merespon lebih cepat.
Praktik-praktik peradilan, Indonesia sudah punya PERMA 2017, kemudian juga ada pedoman Kejaksaan nomor 01 tahun 2001. Ada Perkap Kapolri untuk memudahkan proses perbaikan yang dihadapi oleh anak dan perempuan. Di ruang-ruang pemeriksaan polisi, kejaksaan dan pengadilan tegaskan dari bias-bias prasangka, ketidakadilan berbasis gender dan berbasis lainnya. Namun dalam praktik-praktik persidangan, peradilan, termasuk KDRT, perempuan yang dituduh pelanggaran narkotika juga isu terorisme, seringkali para perempuan diabaikan situasi opresinya padahal jelas peraturan-peraturan seperti tersebut di atas dimaksudkan untuk menjaga atau meminimalisir agar peradilan berjalan adil atau fair. Nyatanya masih jauh dari itu.
Mamik juga ingin membagikan satu isu yang dikenal sekarang yang saat ini sedang di advokasi oleh Komnas Perempuan yakni isu tentang femisida, pembunuhan terhadap perempuan, dan khas dikenakan kepada perempuan. Karena kejahatan ini tidak boleh disamakan dengan pembunuhan biasa. Ada misogini, kebencian terhadap perempuan. Dia dibunuh, disiksa sampai mati, seperti contoh yang dialami oleh beberapa korban. Itu adalah bentuk penyiksaan yang berakhir pembunuhan dan disebut femisida. Jadi dimensi ini harus diakui tentang aspek gender, aspek keperempuannya yang dijadikan faktor dia dibunuh atau disiksa sampai meninggal. Tidak adil kalau kemudian dianggap atau disamakan dengan pembunuhan biasa, karena jelas di situ ada kebencian, ada prasangka, ada pertentangan yang hidup dalam kepala dan perasaan pelaku pada korban. Korban perempuan tidak hanya para istri tetapi juga para perempuan yang dilacurkan atau pekerja seks. Termasuk pacar atau kekasih seperti yang dialami oleh Dini atau NWR beberapa tahun lalu di Sidoarjo.
Kemudian Mamik juga ingin membagi satu isu lagi yang sudah disinggung Sulistyowati tentang betapa beratnya sampai hari ini DPR tidak kunjung untuk menandatangi UU PPRT. "Buat kami hanya satu yang mungkin bisa menjelaskan apakah jangan-jangan teman-teman dewan terkadang status quo-nya sebagai majikan sehingga begitu sulit, begitu beratnya untuk mengesahkan. Saya tidak paham. Saya berharap teman NasDem membela pihak yang disingkirkan. Isu yang lain yang menurut saya juga penting sehingga saya memohonkan atensi teman teman adalah situasi yang dihadapi oleh perempuan masyarakat adat, "imbuhnya.
Dalam pandangan Mamik, perempuan itu bersama tidak hanya profesinya, keyakinan, status sosial,orientasi preferensinya, asal usulnya termasuk juga perempuan masyarakat adat yang punya kebutuhan hak yang berbeda dan spesifik. Situasi kerentanan masyarakat adat juga spesifik. Lebih dunia patriarkal di lebih negara, nasional. Mereka juga berjuang, bertarung di ruang-ruang personal mereka. Dan itu membuat situasi kerentanan yang berlapis- lapis. "Dengan belum ditetapkan RUU Masyarakat adat itu memperburuk atau melanggengkan kekerasan yang dialami oleh perempuan masyarakat adat. Saat ini mereka amat sangat paling kena dampak dari deforestasi. Tambang, mau tambang rakyat, tambang izin dan tidak izin, semua itu merusak. Yang paling menderita di dalamnya di antaranya adalah perempuan dan anak anak . Dengan tidak segera disahkannya RUU Masyarakat Adat, tentu kondisinya akan terus memperburuk.
Tentang Perempuan di Penjara
Menurut Mamik, ia sebelum lulus kuliah kriminologi melakukan riset di penjara anak dan perempuan. Bagi negara yang tidak bisa katakan bahwa negara ini bukan negara kapitalis yang berpihak kepada investasi atau korporasi atau pemodal, pandangan orang-orang yang ada di dalam penjara itu mereka adalah "sampah", sampahnya masyarakat.
"Ngapain sih kita repot repot" Mamik sering mendapat pertanyaan ketika ia repot di dalam penjara? "Biarin saja mereka membusuk di dalam penjara". Menurutnya itu tidak hanya pandangan orang saja tapi pandangan negara secara umum karena kerjakan-kebijakan atau treatment perlakuan orang dalam penjara masih jauh dari instrumen hukum internasional yang berlaku. Secara khusus ada ratifikasi 2010. Setiap provinsi punya lapas perempuan tetapi perspektif, desain praktik, perlakuan, masih jauh dari yang diamanatkan instrumen hukum dan HAM tentang bagaimana negara memperlakukan perempuan di dalam penjara dan bagaimana negara dalam proses peradilan yang seharusnya memberikan seleksi yang sangat kuat untuk memenjarakan perempuan sebab perempuan punya konteks pelanggaran yang berbeda.
Secara sosial, perempuan juga memiliki dampak yang berbeda atas pemenjaraan yang dialami. Demikian juga pasca pemenjaraan. Anak-anak juga jadi bagian penderitaan karena pengasuhan dan perawatan pada patriarkal ini diwajibkan dilekatkan pada ibu/perempuan dan itu memberikan penderitaan yang lebih pada perempuan dalam penjara atau yang dirampas kemerdekaannya. Karena rasa bersalah, rasa sakit, rasa menderita dan itu tidak dialami oleh para ayah atau laki-laki. Stigma yang melekat pada mereka kekerasan terjadi terus-menerus.
Secara umum dalam pandangan Mamik, kenapa itu terus terjadi meskipun Indonesia sudah meratifikasi Cedaw tahun 1984 dan Indonesia adalah negara yang paling banyak meratifikasi instrumen HAM internasional, sudah punya UUD 1945 amandemen kedua yang amat sangat mengakomodir nilai-nilai hak asasi manusia namun kenapa hidup perempuan masih jauh dari penghormatan pemenuhan hak asasinya? Karena terutama saat ini hukum belum memperlihatkan semestinya jadi instrumen untuk membangun manusia tanpa diskriminasi . Tidak ada pengecualian. Padahal setiap orang setara dan salah satu prinsip HAM adalah non diskriminasi dan itu diletakkan di awal dalam setiap instrumen.
"Ini semua menurut saya karena kita hidup di masyarakat selain patriarki juga kapitalis, yang berkelindan dengan tafsir agama yang konservatif dan diskriminatif, dan itu saling mengunci dan membuat banyak hak yang kita harapkan tapi faktanya kemudian hukum jadi alat kekuasaan, melipatgandakan kekuasaan, melipatgandakan modal dan setiap suara yang mengkritisi kemudian akan dibungkam, "jelas Mamik.
Di akhir kata Mamik mengatakan bahwa hukum saat ini sebagai alat atau instrumen kekuasaan untuk melanggengkan status quo dengan cara membungkam dan mengopresi semua suara yang kritis, semua yang dianggap akan mengganggu atau meruntuhkan kekuasaan itu.
Pembicara ketiga : Bivitri Susanti
Bivitri Susanti, akademisi, memberi apresiasi atas simposium yang diselenggarakan oleh partai Nasdem. Pandangan hampir sama dengan gagasan yang disampaikan dia pembicara sebelumnya bahwa seringkali kita berbicara tentang negara hukum tapi sebenarnya kita membawa hukumnya hanya sebagai bungkusan. Di majalah Tempo 10 Tahun Jokowi ia juga menulis dengan judul sama. Soal penguasa bertameng hukum. Ia ingin mengajak semua untuk membongkar cara pandang yang keliru. Yang dogmatik tentang hukum karena sebenarnya ia ingin mengajak semua untuk memikirkan pandangan yang dogmatik terhadap hukum sehingga hukum menjadi maskulin. Tapi sebelum ke situ ia memberi kerangka pikir itu. Apakah ini soal yang nyinyir? Bukan, karena kalau berbicara tentang hukum negara Indonesia akan berbicara tiga wilayah ini. Menurutnya, ia pakai yang lain, bagaimana hukum negara adalah konfigurasi politik, institusi penegakan hukum dan persepsi publik-legitimasi hukum. Sejalan dengan desertasi Pak Mahfud soal Politik Hukum. Hukum sebetulnya filosofi yang abstrak. Hukum itu sebetulnya sandaran atau titik pijaknya dimana karena dia abstrak betul. "Kok kita bisa berbicara hukum yang cuma teks, seakan-akan, tetapi dia bisa membuat seorang mati, bahkan. Saya tidak setuju hukuman mati. Tetapi atas nama hukum orang bisa dikenakan hukuman mati padahal dia hanya teks. Dari mana landasan legitimasi? Sebenarnya dia ada pada pikiran kita dan persepsi publik, " tegas Bivitri.
Jadi ia ingin membongkarnya dengan kerangka pikir tadi. Ia ingin mengembalikan, menimpali, atau menambahkan apa yang disampaikan dua pembicara sebelumnya dan semua boleh punya definisi-definisi. Tapi ia ingin tarik lebih ke esensi bahwa negara hukum adalah soal pembatasan kekuasan dan HAM. Dan ia ingin semua merefleksikan kembali bahwa pada mulanya hukum itu HAM. Kalau berbicara atau kalau dilacak, kalau pakai bahasa hukum yang diambil dalam bahasa Jerman atau Belanda itu kan berarti hak. Tidak hanya artinya hukum tapi juga hak. Karena secara konseptual para filsuf sebenarnya berbicara HAM. Bivitri ingin mengajak bahwa negara hukum bukan supremasi hukum. Hati-hati dengan itu karena bisa-bisa taklid buta pada hukum negara. Saat itu Bivitri lagi tidak bicara hukum agama, karena itu soal lain. Tapi hukum negara yang membuat adalah manusia-manusia yang punya kepentingan negara selama ini kita hanya diajarkan bahwa "warga negara yang baik adalah yang taat hukum, titik." Tapi tidak diberi ruang untuk kritik terhadap hukum. Maka yang terjadi adalah akan taklid buta dan begitu banyak instrumen hukum yang digunakan untuk yang sebenarnya tidak adil.
Ada istilah Equality before the law, tapi nyatanya tidak ada persamaan kesetaraan apakah perempuan dan laki laki setara? Nyatanya tidak, lihat tentang femisida. Padahal masyarakat ada, dengan korporasi juga equality before the law. Bivitri punya pikiran equality before the law adalah tugas hukum untuk membuat orang bisa equal di hadapannya. Sebenarnya hukum bisa membuat situasi kesetaraan itu.
Banyak hal yang ingin ia ceritakan dan pernah ia tulis.
Bivitri mengingatkan saja bahwa negara hukum dalam UUD 45 masuk dalam penjelasan naskah awal kemudian masuk batang tubuh. Saya ingin menekankan bagaimana dulu para pendiri bangsa ini yang kita sebut sebagai "para pendiri bangsa" bukan founding fathers karena pendiri bangsa juga ada dua perempuan : Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah. Kalau di Amerika benar, istilah "founding fathers" Di sini salah karena ada dua perempuan anggota BPU PK. Adalah bagaimana dulu para pendiri bangsa membuat kalimat ini seakan-akan memberikan gagasannya, jadi seakan-akan binary position. Ini adalah antitesis dari negara kekuasaan yang dibuat dalam UUD 45.
Kerusakan negara hukum terjadi pada kurun waktu 2014-2024. Kerusakannya meliputi : minum kontrol, impunitas dan persepsi tentang hukum dan moral. Intinya kekuasaan mimin kontrol karena lembaga hukum bertemu kepentingan, ada network of interest yang ketemu. Lembaga penegak hukum, jaksa, kehakiman, bertemu kepentingan dengan aktor politik. Ini Bivitri kaitkan dengan oligarki politik level atas, dan kartel politik level tengah dan ada lagi bawah. Pertemuan kepentingan itu nyata makanya KPK dibunuh, ada revisi UU Kepolisian, TNI dan sebagainya. Impunitas yang diterapkan dengan defense mechanism yang memungkinkan terjadinya keberulangan. Tragedi Kanjuruhan contohnya, gerbang baru saja diruntuhkan padahal belum dibongkar secara baik apa yang terjadi sebenarnya di Kanjuruhan. Penggusuran paksa di PSN dan korupsi merajalela dst.
Kerusakan berikutnya adalah persepsi tentang hukum dan moral. Faktanya banyak sekali pelanggaran etik dan hukum justru dibenarkan oleh produk hukum baik undang-undang maupun putusan pengadilan misalnya nepotisme soal dinasti politik, dan soal "politik gentong babi "melalui bansos. Kasus-kasus anak pejabat dan pejabat, termasuk kasus Dini Sera dihukum bebas. Yang mengkhawatirkan karena ini dipraktikkan di level atas. Kalau di bawah jadinya diinternalisasi oleh semua warga.
Mungkin kita merasa "Ini apa sih kok nyalahin elit melulu. Tapi kalau misalnya kita buka literatur tentang law and behaviour kita juga akan belajar bagaimana tiadanya teladan. Akhirnya itu jadi values yang baru : The New Normal dan saya kira itu yang tengah terjadi, "jelas Bivitri.
Barangkali kalau semua lagi membuka gadget itu lantas mengaduh "Aduh kok begini banget ya warga plus 62 kayak lawless society. Ada orang salah langsung digebukin, ada orang salah langsung dikejar mobil sampai dibunuh. Orangnya tetap salah kalau main hakim sendiri tapi kalau kita bicara makro, saya punya pandangan bahwa ini ketidakpatuhan dan manipulasi hukum oleh elit politik bikin warga secara hukum, masyarakat bilang ya udah inilah sehingga hukum tidak kita hormati," ujar Bivitri.
Terakhir ia ingin bilang karena simposium dihelat partai Nasdem, tolong dikaji bagaimana posisi Nasdem tetapi secara umum sudah banyak kajiannya tentang partai partai politik yang pragmatis, tidak ideologis. Artinya, ya sudahlah kalau ada tawaran jabatan menteri, komisaris, ambil. Tidak soal apakah kekuasaan nanti jadi kontrol atau tidak. Kemudian relasi kekuasaaan yang bisa mengendalikan kelompok kekuasaan oligarki partai politik dan populisme. Karena menurut Bivitri, tantangan negara hukum yang besar sekali adalah populisme termasuk membawa influencer ke IKN baru-baru ini. Itu adalah cara beroperasi yang populis sebenarnya.
"Tapi jangan salah. Dari kalangan masyarakat sipil sendiri seperti saya, ada kelompok anti demokrasi. Ini tantangan negara hukum. Saya nitip dalam Kongres partai nasdem supaya kita membicarakan hal ini termasuk juga kalau bicara negara hukumnya ada banyak dokumennya : ICJR banyak riset, Kontras banyak riset, saya dan teman teman pernah di tim percepatan hukum sampai ada roadmap-nya juga," pungkasnya. (Ast)