Sosok

Polda DI.Yogyakarta Hentikan Penyidikan Kasus Meila Nurul Fajriah

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Yogyakarta menerima Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan atau SP3 dari Polda Yogyakarta terhadap Meila Nurul Fajriah, advokat LBH Yogyakarta, pada Selasa, 6 Agustus 2024.

Sebelumnya, Meila Nurul Fajriah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik ketika  menjadi pendamping hukum 30 korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berinisial IM.

Julian Duwi Prasetia Direktur LBH Yogyakarta mengungkapkan bahwa upaya kriminalisasi itu menyakitan, tidak hanya bagi pendamping yang dikenai kriminalisasi, tetapi juga bagi pendamping lainnya yang sedang melakukan upaya advokasi-advokasi dan berdedikasi untuk mendampingi korban kekerasan seksual. “Ini juga menyakitkan bagi korban,” kata Julian, dikutip dari Tempo.co, pada Rabu 7 Agustus 2024.

Ia juga mengungkapkan bahwa dalam penanganan kekerasan seksual, korban harus didampingi dan diupaya pulih agar trauma yang terhadap kejadian tersebut tidak menyakiti mereka kembali.

“Adanya upaya kriminalisasi ini adalah bentuk pelemahan terhadap rasa keadilan bagi korban-korban kekerasan seksual,” lanjut Julian. Ia juga menekankan pentingnya mengecam tindak kriminalisasi yang diarahkan kepada pendamping korban maupun pejuang Hak Asasi Manusia.

“SP3 ini sekaligus kemenangan korban KS dan kemerdekaan korban untuk memilih saluran pelaporan dan jenis mekanisme pemulihan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi korban, sebagaimana dijamin dalam UU TPKS. Akhirnya diamini oleh Polda Yogyakarta,” tulis pengurus YLBHI dan LBH Yogyakarta dalam siaran pers, pada Selasa, 6 Agustus 2024.

Kendati demikian, pemberhentian penyidikan oleh Polda Yogyakarta tidak menutup ruang untuk adanya upaya pra peradilan. “Perjuangan belum berakhir, kita harus bersiap andai ada gugatan pra peradilan,” ujarnya.

Terkait hal tersebut, Julian mengungkapkan bahwa pihaknya mengharapkan majelis hakim selaku representasi pengadilan dapat memiliki perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual menyikapi adanya ruang pra peradilan.

Selain itu, menurut Julian, adanya UU TPKS seharusnya dapat diakselerasi oleh Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya agar cepat mengadopsi perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

“Supaya setiap kasus kekerasan seksual maupun upaya gugatan balik di peradilan, majelis hakim sudah memiliki modal pemahaman terhadap penanganan kasus kekerasan seksual,” jelasnya.

Selain itu, Julian juga mengungkapkan bahwa akselerasi ini juga dapat didorong oleh masyarakat. Menurutnya, publik dapat mengirimkan amicus curiae yang ditunjukan pada Mahkamah Agung atau hakim yang sedang memeriksa suatu perkara.

“Solidaritas ini menjadi penting untuk menyamakan persepsi antara satu institusi dengan institusi lain terkait pemahaman dan kasus-kasus kekerasan seksual,” pungkas Julian.

Dikutip dari harianjogja.com,dugaan pencemaran nama baik dengan media ITE ini bermula pada tahun 2020 berdasarkan adanya surat pengaduan dari pelapor atas nama IM. Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 2020 dilakukan penelitian yang berkoordinasi dengan ahli bahasa.

Pada tanggal 21 Desember 2021 kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan karena telah ditemukan peristiwa pidana yang dilaporkan oleh IM. Seiring bergulirnya waktu, hasil penyidikan dan pemeriksaan tambahan kemudian menetapkan Meila sebagai tersangka pada Juni 2024 atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) UU. No. 19/2015 tentang perubahan atas UU. No.11/2017 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pekan lalu Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) juga menyampaikan sejumlah pandangan hukumnya sekaligus rekomendasi terhadap penanganan kasus hukum yang menimpa Meila.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman mengungkapkan ada 10 poin pandangan hukum yang disampaikan guru.

Dalam salah satu poinnya, penetapan tersangka kepada pendamping korban seksual sangat potensial menjadi pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan. Padahal hal tersebut adalah hak bagi setiap orang, tanpa diskriminasi untuk mengajukan permohonan pengaduan dan laporan dalam perkara pidana untuk memperoleh putusan adil dan benar.

Pada  Kamis, 8 Agustus, Komnas HAM mengeluarkan keterangan pers terkait apresiasi yang diberikan atas penghentian penyelidikan kasus pencemaran nama baik pembela HAM, Meila Nurul Fajriah, pengacara YLBHI. Selain itu Komnas HAM mendorong agar adanya jaminan perlindungan hak setiap orang yang berpendapat dan berekspresi, dan tidak menggunakan pendekatan pidana atas kasus-kasus berpendapat dan berekspresi. Serta Komnas HAM mendorong adanya perlindungan kepada pembela HAM. (Ast)