Sosok

Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Digitalisasi dan Minimnya Partisipasi Masyarakat

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Onni Rosleini, perancang peraturan perundang-undangan, dari Kemenkumham mengambil tema "Perkembangan dan Tindak Lanjut Rencana Pembentukan Pusat Legislasi Naisonal"pada seminar dan diskusi  panel pembentukan peraturan perundang-undangan, evaluasi dan tantangannya, oleh Badan Keahlian DPR RI bekerja sama dengan Ikatan Perancang Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Senin, 29/7 menyampaikan bahwa berdasarkan pangkalan data www.peraturan.go.id jumlah regulasi di Indonesia : UU ada 1.754, Perppu 217, PP 4.906, Perpres 2.427, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 37, Peraturan Bank Indonesia (BI) 226, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 490, Peraturan Menteri 18.174, Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) 5.930, Peraturan Daerah 19.323 sebanyak 53.482.

Dari banyaknya peraturan perundang-undangan itu menimbulkan dampak regulasi di Indonesia. Apa saja? 1. Over regulasi di setiap jenis peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan menteri/ lembaga dan perda, 2. Peraturan perundang-undangan saling bertentangan secara vertikal dan horizontal, banyak peraturan perundang-undangan (PUU) saling tumpang tindih materi muatan, menghambat penyelengaraan pemerintahan dan investasi di Indonesia, banyak pembentukan PUU yang tidak taat pembentukan dan materi muatan,  banyak PUU yang tidak efektif dalam pelaksanaannya.

Dampak atas banyaknya lembaga berwenang membentuk PUU : banyak regulasi yang dibentuk tidak berkualitas dan tidak harmonis, satu dengan yang lainnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Hal itu menimbulkan ego sektoral yang cukup tinggi dalam setiap pembentukan PUU di Indoensia. Juga menimbukan beban biaya negara yang cukup besar, untuk anggaran pembentukan PUU di setiap kementerian/lembaga/badan/komisi dan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, menghambat investama dan menciptakan birokrasi yang tidak baik di Indonesia.

Strategi penataan regulasi di Indonesia yang jadi amanah undang-undang adalah dengan Pusat Legislasi Nasional. Tapi mandat itu belum dilaksanakan. Seandainya lembaga ini ada alangkah baiknya.

Tujuan lembaga Pusat Legislasi Nasional (seandainya lembaga ini ada) :penggabungan fungsi-fungsi Legislasi, baik yang ada di Badan Pembinaan Hukum Nasioanl (BPHN), Dirjen Peraturan Perundangan, dan fungsi Legislasi yang ada di semua kementerian menjadi Pusat Legislasi Nasional berkedudukan langsung di bawah presiden, fungsi pembentukan regulasi di kementerian/lembaga ditiadakan, tetapi bisa jadi pengusul rancangan regulasi dan diajukan  ke Pusat Legislasi Nasional, melaksanakan tugas pembentukan PUU secara lintas sektoral sehingga dapat cepat memutus dan berkoordinasi dengan baik dengan seluruh kementeriannya.

Tantangan Pembentukan Pusat Legislasi Nasional adalah ; 1. Mencari desain keseimbangan Pusat Legislasi Nasional yang ideal, apakah akan berbentuk kementerian, badan atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), 2. Menginventarisir seluruh PUU yang memberikan kewenangan Pembentukan PUU kepada setiap kementerian, lembaga, komisi dan badan, 3. Mempertimbangkan apakah Pusat Legislasi Nasional juga akan mengambil kewenangan pembentukan perda dan perkada yang ada di setiap pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota.

"Sampai saat ini kita tidak tahu siapa yang menginventarisasi UU kita, mana yang bertabrakan dengan yang lain. Ini belum ada.Di Korea ada kementerian Legislasi jadi kesimpulannya adalah masih menemui problematika, "pungkas Onni Rosleini.

 

Pentingnya Digitalisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Rina Widyani Wahyuningtyas, lulusan S2 di USA, staf ahli bidang hukum dan kelembagaan Kementerian Keuangan pada sesi kedua memaparkan tentang "Digitalisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya ini amanat UU 13/2022 pasal 97 b. Sebagai poinnya adalah proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan secara elektronik maka bisa memggunakan tanda tangan elektronik pula. Dan untuk menjaga keabsahannya harus terverifikasi. Yang penting adalah adanya pernyataan penting dalam undang-undang tersebut. Bahwa undang-undang yang dibuat secara elektronik mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan yang dibikin secara manual seperti ini. Yang perlu ditekankan adalah harus ada aturan pelaksanaan dari pasal 97b yaitu peraturan yang tentunya oleh presiden di bawah koordinasi kementerian dan lembaga. Mengenai urgensi adalah perlunya efektivitas. Menurutnya untuk Artificial Intellegence (AI) ada potensi untuk digunakan.

Hal pertama yang bisa dilakuan adalah penyusunan kajian, brainstorming, analisis rumusan pasal, pasal-pasal yang terkait ini apa saja, riset, peningkatan pencarian akses hukum untuk rumusan pasal. "AI tidak dapat menggantikan manusia  tapi AI yang luar biasa dan manusia yang luar biasa diharapkan akan ada hasil yang luar biasa. Tergantung bagaimana kita membawa AI atau meng-customize yang bisa membawa kita semaksimal mungkin," pungkas Rina.

Partisipasi Substantif Vs Partisipasi Teknokratis

Dari perspektif masyarakat sipil, ada rasa frustrasi yang begitu besar. Paling tidak di tahun 2019. Rasa frustrasi ini yang  memang harus bisa direspon. Publik paham  bahwa pada suatu titik, perancang undang-undang tidak punya wewenang untuk membuat konsep partisipasi, tetapi barangkali yang bisa disumbangkan untuk proses politik yang mulai membuat rasa frustrasi di kalangan masyarakat sipil adalah: membuatkan sebuah teknik dan metode yang dituangkan dalam perancangan dalam perundang-undangan. Demikian dikatakan oleh Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera saat menjadi  narasumber pada seminar dan diskusi yang sama.

Bivitri mengambil tema "Partisipasi Substantif Vs Partisipasi Teknokratis". Mengapa partisipasi?  Menurutnya, ia menggunakan istilah demokrasi Pancasila. Lantas masyarakat terpaku pada demokrasi perwakilan sehingga seolah-olah semua sudah selesai diwakili saat selesai mencoblos. Ia menggarisbawahi bahwa kebijakan bisa berdampak buruk bisa juga berdampak baik pada kelompok yang berbeda. Proses yang berjalan tidak baik bisa memperpanjang dampak buruk tersebut.

Tanpa partisipasi, demokrasi hanya cangkang kosong atau demokrasi prosedural. Cara pandang yang selama ini ada adalah soal kebijakan yang merupakan "pemberian"negara. Warga cenderung dijauhkan dari politik kecuali untuk mencoblos lima tahun sekali. Artinya semua urusan seakan diserahkan pada wakil rakyat padahal bahkan seakan tidak ada komunikasi antara warga biasa dengan para wakilnya (hanya elit dan yang punya akses). Pelaksanaan demokrasi perwakilan bermasalah saat partai politik tidak demokratis, tidak punya akar pada warga, dan tidak melakukan pendidikan politik. Realita berikutnya proses pengambilan keputusan dalam proses legislasi cenderung tertutup karena adanya berbagai kepentingan.

Karena banyak hal dia saksikan dengan berkeliling ke kampus-kampus, ia melihat rasa frustrasi pada proses politik bisa berbahaya : 1. Pada proses demokrasi yang substansif. Karena orang sudah tidak lagi skeptis tapi apatis atau tidak peduli, "Apa saja deh, memangnya kita punya suara..." begitu yang disuarakan masyarakat sipil  2. Banyak prosedur demokrasi seperti pemilu dan pilkada dijauhi karena mereka merasa tidak ada gunanya memilih. Jelang Pilkada saat ini mereka juga sudah mulai frustrasi.

Menurut Bivitri, sebagai perancang semestinya perlu memberikan ruang-ruang itu. Jadi tantangan terbesar dari setiap membicarakan partispasi adalah partispasi di teknokratis tetapi sewaktu diturunkan menjadi mekanisme dan prosedur akhirnya jadi partispasi formalitas saja. Partispasi misalnya seminar. Waktu dalam konteks Ibu Kota Negara (IKN), apakah parlemen sudah berbicara pada masyarakat adat, apakah mereka diikutsertakan? Nyatanya di beberapa tempat mereka tidak diperbolehkan masuk. Puluhan ahli yang terlibat, apakah ia menceritakan bukan keahlian tetapi pengalaman? "Saya bisa mengutip buku tentang masyarakat adat tetapi saya tidak punya pengalaman dengan masyarakat adat.  Saya jadikan contoh betapa pentingnya partispasi itu akhirnya menjadi turun kualitasnya dibuat sebagai formalitas saja," ungkap Bivitri.

Bagian keduanya yang ingin disampaikan oleh Bivitri adalah tantangan yang ada tiga  1. Transparansi proses dan ketersediaan dokumen, masih jadi catatannya yang menurutnya bagi perancang tidak ada masalah untuk mendapatkan dokumen tetapi bagi pihak Bivitri sulit mendapatkan dokumen contoh saja Rancangan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Yang menjadi pertanyaannya apakah ini bagian proses yang sangat sensitif padahal menurutnya apabila ingin partisipasi bermakna hal seperti ini harusnya bisa diantisipasi  2. Tantangan Inklusi, sebagai bagian dari Tim Percepatan Reformasi Hukum Pokja Perundang-undangan, ia mengingatkan bahwa kelompok-kelompok difabel aksesnya sangat  minim. Hal ini mengapa pentingnya dilalukan pemetaan pemangku kepentingan dalam konteks inklusi karena yang ia.pahami kemudian betul-betul banyak sekali fokusnya di akademik.

 

Bivitri juga merasa senang jika diundang sebagai akademisi tetapi kalau yang ia baca putusan MK, bisa dijadikan acuan karena bagus sekali, disebutkan bahwa yang namanya kelompok yang harus berpartisipasi adalah kelompok yang terdampak. Dan ini menurutnya yang sangat kurang. 3. Waktu yang cukup. Misalnya bagi masyarakat kecil untuk punya waktu yang cukup untuk menentukan. Sebagai seorang dosen yang diundang, kadang-kadang dua hari sebelum acara konsultasi publik, draft-nya juga tidak diberi sehingga harus mencari. Contoh lagi misalnya acara konsultasi publik dengan pemerintah, judulnya konsultasi publik tapi dari 105 yang diundang, 85 dari Kementerian /Lembaga, sisanya baru masyarakat.

 

Bagaimana mengelola partisipasi?

 

Dari pengalaman Bivitri sebagai pemberi masukan karena dia berasal dari  luar pemerintahan, sekaligus belajar dari berbagai kesempatan, ia kemukakan pengalaman pernah kuliah di Seattle, lantas ikut kuliah legislative process. Ia sengaja magang di kelompok-kelompok masyarakat sipil yang mendorong grassroot lobying yang di situ banyak hal yang dia dapatkan bagiamana tidak semua masukan diterima, tetapi bagi masukan yang tidak diterima ada template, ada tempatnya  serta ucapan terima kasih dan permohonan maaf karena usulan mereka tidak bisa diterima. Itu membuat mereka berkata dalam hati, "Oke, berarti masukan kita sudah dibaca, nanti kita lihat hasilnya seperti apa. Jadi tidak ada kemarahan yang timbul, tidak ada rasa frustrasi yang muncul, dan sekadar mendapatkan penjelasan,"terang Bivitri. Menurutnya itulah yang diinginkan oleh para pemberi masukan. Dan rekamannya harus diarsipkan untuk pengembangan stakeholder.

Terakhir Bivitri sampaikan adalah beberapa hal yang saya dapatkan. Ada persoalan fundamental yang berhasil ia dapatkan sebagai bagian dari Tim Percepatan Reformasi Hukum Pokja Perundang-undangan ; yang pertama ternyata banyak bentuk partisipasi masyarakat yang belum sepenuhnya berdasarkan prinsip demokrasi dan HAM. Dalam konteks ini ia ingin bahkan mendorong. Dalam rekomendasi tim, ada roapmap-nya. Tidak asal merekomendasikan  tetapi tim ingin konkret maka dibuatkan roapmap jangka pendek, menengah dan panjang. Ada penggunaan kata dapat dalam pasal di dalam undang-undang yang berpotensi meniadakan partisipasi bermakna. Ada poin parameter pihak ketiga yang dilibatkan, menurutnya belum sepenuhnya memahami dampak materi perundang-undangan, pihak terdampak seperti apa. (Astuti)