Sorot

YAPHI Gelar Kajian Hukum Kritis : Kebebasan Berekspresi dan Tantangan Jurnalisme Saat Ini

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberi peluang warga dan masyarakat sipil memanfaatkan jurnalisme warga dengan aneka bentuknya. Individu maupun komunitas menyampaikan berbagai ekspresi, kritik, dukungan, kemarahan, perlawanan atas kecenderungan otoritarianisme pemerintahan baru. Ini tantangan berat karena media massa sebagai salah satu pilar demokrasi mengalami kesulitan selain hambatan hukum, politik, dan ekonomi. Masyarakat sipil, termasuk kelompok agama hingga kampus pun dibujuk dengan kekuasaan dan tawaran, seperti izin eksplorasi tambang.

Jurnalisme warga atau media sosial semakin membuka ruang dan semakin membuka peluang  atau komunitas jurnalis untuk mengekspresikan pesan-pesan politik atau yang mengandung kepentingan banyak orang. Tidak hanya pemilu tapi juga terkait gas melon. 

Tantangannya tidak mudah bagi media arus utama, hingga media cetak banyak yang bangkrut. Media diimingi data yang sebenarnya iklan. Iming-iming semakin banyak, yang tidak hanya organisasi keagamaan bahkan sekarang ditambah kampus.

Demikian dikatakan oleh Lukas Ispandriarno pada Diskusi Kajian Kritis Hukum, Kebebasan berekspresi di Era Prabowo, bertempat di Ruang Anawim Yayasan Yaph dan diikuiti oleh berbagai elemen masyarakat seperti organisasi kemasyarakatan pemuda dan aktivis serta jurnalis, Rabu (6/2).

Lukas juga memaparkan bahwa jurnalisme di Indonesia mengalami berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Swasensor bukan hanya ketidaksetujuan pimpinan redaksi atau pemilik media atas pemuatan isu tertentu, namun karena kepentingan ekonomi seperti berita berbayar dari lembaga pemerintah dan aktor politik. Pasandaran (2021) mengategorikan sebagai iklan native (native advertising).

Tantangan yang lain, sebelum Pak Prabowo pun kecenderungan otoriatirasime sudah terjadi dan itu mengganggu pers. Sebelum itu pubik bisa melihat indeks kemerdekaan pers  makin lama makin turun. Survey terbaru dilakukan oleh Dewan Pers, yang menyatakan iklim usaha industri pers tidak dalam kondisi menguntungkan. Media massa bukan lagi sumber utama masyarakat mendapatkan berita, kue iklan nasional perusahaan pers pun sekitar 75 persen diambil alih oleh platform digital global dan media sosial (Dewan Pers. 31/12/2024)

Survey lainnya juga dilakukan oleh lembaga Internasional Freedom House. Mereka mencatat mencatat pada tahun 2024, Indonesia tergolong Partly Free atau sebagian bebas, di angka 57/100. Pada hak-hak politik skornya 29 dari 40 dan kebebasan sipil di angka 28 dari 60.

Tahun 2024 Indeks Kebebasan Pers sebesar 69,36 atau “Cukup Bebas”. Turun -2,21 poin dari nilai IKP tahun 2023. Skor di setiap lingkungan sekitar 67-70, menggambarkan kondisi kemerdekaan pers nasional. Lingkungan Ekonomi skornya paling rendah, 67,74, Lingkungan Fisik & Politik lebih tinggi, 70,06, dan Lingkungan Hukum sebesar 69,44. Kalau indeks pers semakin turun maka jurnalis lebih sulit karena kebebasan pers terbatas.

Misalnya demi demo atau tidak ada demo, atau wartawan memotret razia lalu lintas itu dilarang. Itu sebenarnya bentuk kebebasan pers dan bisa dilihat apakah kasus kasus itu meningkat atau secara fisik. Aparat pemerintah, polisi TNI,ujung tombak oligarki bagian dari kekuasaan yang sedikit itu membatasi kemerdekaan pers yang hal tersebut jadi nyawa dari jurnalis atau media. Berita-berita yang dikonsumsi masyarakat jadinya terbatas.

Menjelang  peringatan Hari Pers 2025. Presiden Prabowo justru membuat komentar yang menyudutkan pers, seperti ini "Saya kira media ini masih muda-muda ya. Jadi, ada hal hal yang kalau orang tua bicara, yang muda muda, anak-anak biasanya nunggu di luar. Kan begitu kan. Terima kasih sementara,"
(Tempo,28/01/2025).

Menurut Lukas, ini seperti mengingatkan hal serupa di tahun 2018 yang pernah berstatemen, "Saya katakan, hai media-media yang kemarin tidak mau mengatakan ada belasan juta orang atau minimal berapa juta orang  di situ, kau sudah tidak berhak menyandang predikat jurnalis lagi."

Ia bahkan tidak akan mengakui para jurnalis yang meliputnya dan menyebut wartawan sebagai "antek" yang ingin menghancurkan bangsa." (BBC.com. 07/12/2025).
Ada beberapa kasus yang muncul seperti tragedi  kekerasan pada jurnalis di  Sumatera Utara, rumah dan wartawan sekeluarga dibakar. Jurnalis Jubi rumahnya didatangi oleh aparat. Kasus terakhir di NTT pembongkaran rumah warga oleh perusahaan  yang dimiliki oleh gereja. “Kebebasan pers menurun. Kekerasan pada jurnalis meningkat dan pengawasan pada pers meningkat. UU ITE adalah undang undang represif. ketika mengkritisi gereja dianggap melawan gereja. Dan itu yang terjadi di era ini.  Kasus di Halmahera Selatan pelakunya adalah TNI. Catatan saya,  jangan pakai kata "oknum" sebab harus jelas: satpol PP, TNI, Polisi,”terang Lukas.

Ichwan Prasetyo, redaktur dan pengelola rubrik Opini Solopos, yang menjadi narasumber kedua, mengatakan bahwa ketika membicarakan pers era kiwari atau pers hari ini, maka ada tiga entitas yakni  search engine, social media dan e-commerce. Media sosial dan relevansinya dengan jurnalime itu sendiri menempatkan publik saling berbagi peristiwa dari tangan pertama dengan ciri-ciri narasumber dapat berinteraksi secara langsung dengan public, platform non-media (nonpers) bisa lebih besar dan lebih berpengaruh, algoritma sebagai mesin kurasi, kelompok kritis semakin kuat membangun basis kampanye, analisa big data dan open source intelligence (osint) makin berkembang dan Artificial Intelligence makin berpengaruh.

Ichwan juga mengemukakan bahwa saat ini, apa yang tersisa untuk media (pers) yakni : validasi (disiplin verivikasi),profesional look of news product and packaging (foto video, gratis), kompilasi atau rangkuman peristiwa analisis eye bird, menunjukkan pola dan benang merah, liputan mendalam (investigasi) yang seharusnya dilindungi hukum namun instrumen untuk melakukan itu tidak ada. Artinya, jurnalisme warga tidak ada perlindungannya, sehingga butuh upaya kolaboratif dengan pilihan topik yang mudah terakses.

Namun tantangan yang dihadapi oleh pers, menurut Ichwan saat ini juga semakin banyak, sebab perilaku kekuasaan yang semakin seragam secara global seperti rezim oligarki yang cenderung menguat, normalisasi represi, persekusi, dan terror, perhatian dan tekanan publik melemah akibat “tsunami informasi”, impunitas dan preseden yang diciptakan serta echo chamber (ruang gema) atau lingkungan di mana seseorang hanya menemukan pendapat dan keyakinan yang sama dengan dirinya.

Lantas apa yang perlu disiapkan untuk mengantisipasi hal buruk? Ichwan memberi beberapa catatan : kesadaran pada apa yang akan dihadapi, meningkatkan sensitivitas pada potensi ancaman keamanan, meningkatkan keterampilan teknis terkait keamanan, memperkaya pengalaman, membangun sistem keamanan kerja dan personal dan membagi pengalaman kepada orang lain. (Ast)