Tidak banyak orang Indonesia yang menekuni isu ianfu. Yang jumlahnya tidak banyak itu biasanya mereka peneliti independen karena Indonesia belum peduli tentang para penyintas.Demikian dikatakan Eka Hindra, penulis dan peneliti independen dengan isu Ianfu dalam YouTube LetssTalk Feminist on Facebook #7. Eka mengatakan mendapat inspirasi karena pada tahun 1999 pernah bekerja sebagai jurnalis di kantor radio Internews Indonesia. Ia bekerja pada womans program, program pertama di Indonesia yang berperspektif feminis, dan bukan isu perempuan infotainment tapi jurnalis yang harus turun ke lapangan dulu sebelum riset.
Salah satu dari sekian yang ia garap tentang Ianfu. Eka kemudian berpikir ulang, mencari tokoh dan lalu ia teringat. Ia selesai meliput biografi Mardiyem sepanjang 250 menit yang ia rekam kemudian dikompres menjadi 30 menit. Ada teman, namanya Nugroho, memanas-manasi kalau isu ini penting dan belum ada yang mengangkat jadi ia mendorong untuk menindaklanjuti secara personal. Bertemu dengan Doktor Koichi. Dia bekerja sebagai teolog di Salatiga dan Semarang. Titik balik yang menentukan adalah di tahun 2002. Mardiyem baru pulang dari Pyongyang bersama Koichi untuk membahas penyelesaian kasus ini.
Koichi berkata pada Eka, bagaimana menurutnya karena Mardiyem pada akhirnya menua. Tahun 2003 Koichi pulang ke Jepang dan proyek idealismè ini diserahkan kepada Eka. Dengan pertimbangan Eka adalah perempuan dan isunya tentang seksualitas. Alasan kedua karena Koichi kembali ke Jepang dan Eka tinggal di Indonesia. Akhirnya Eka mengerjakan selama empat tahun. Selama itu ia wira-wiri di Indonesia dan Jepang. Buku Momoye ditulis dari hasil interview selama empat tahun antara Eka dan Mardiyem yang diawali oleh Koichi lebih dahulu kemudian ia lanjutkan sampai buku itu terbit.
Yang terbit sekarang ini adalah publikasi terbit ulang dengan revisi di dalamnya dengan istilah. Juga ada perubahan kaver lebih baru pembaharuannya. Kenapa Eka menerbitkan ulang buku Momeye dengan penerbit yang berbeda? Alasannya karena pertama kali buku Momoye terbit bulan April 2007 oleh penerbit Airlangga. Kemudian ketika Eka menyadari sekitar COVID-19 dan chatt dari teman seluruh Indonesia karena buku Momoye sudah dijadikan buku rujukan oleh para mahasiswa S1, S2, dan S3. Banyak yang kontak dari Universitas Indonesia sampai Universitas Cenderawasih mengeluhkan akses buku Momoye yang sulit. Ternyata buku itu menjadi sangat mahal bahkan Eka tidak punya. Harga fantastik dijual hampir 800 ribu .
Eka lantas mencoba memperbaiki naskah dengan harga wajar dan baru dan saat ini harganya 140 ribu. Ia melihat kualitas kertas di penerbit pertama bagus sekali dan belum pernah dibajak serta bentuknya pocket.
Pertanyaannya adalah bagaimana proses penulisannya selama empat tahun? Eka menjawab persoalan ada pada finansial karena ini penelitian independen. Koichi juga mengalaminya. Setelah Eka tidak bekerja di internews kemudian ia menemui Mardiyem. Kenapa Mardiyem? Sebab ia penyintas paling vokal dan leader yang mampu mengadvikasi dirinya dan teman lain. Eka fokus sekali dengan dia. Kemudian ia bertemu dengan Ianfu lainnya bahkan ke Maluku Tenggara dan Maluku barat daya.
Juga menemukan Ianjo tempat ianfu dan ini pemerkosaan sangat sistemik. Beberapa orang mendukung dan ini lebih sebagai solidaritas. Eka meyakinkan jika isu ini tidak bisa dibatasi waktu. Pengalamannya setidaknya ia berttemu 50-60 ianfu selama lebih 20 tahun, dengan durasi wawancara empat hari sampai sembilan tahun. “Saya bukan seperti wartawan yang mendorong dan memaksa tapi saya datang sebagai teman. Tantangannya soal kesehatan mereka,”ujar Eka.
Sri Sukanti adalah salah seorang Ianfu paling muda di dunia. Ia diperkosa di usia 9 tahun. NatGeo pernah menulisnya di tahun 2020. Memang bukan previllegde personal tapi akhirnya isu ianfu ini bisa didengar secara luas di internasional. NatGeo juga menulis di isu manusianya. Di situlah Eka berproses selama 2,5 tahun dan cukup seru menurutnya. Riset dan liputan dengan fotografer bernama Azhar akhirnya menjadi satu tim dengan Eka, sesuai keinginannya untuk melakukan regenerasi.
Metode penelitian yang dilakukan Eka berupa investigasi lapangan. Dimulai di usia 20 tahunan dengan metode investigasi lapangan. Ia memulainya dengan membuat semacam jurnal untuk diri sendiri dan banyak catatan. Bagi Eka ketika Momoye lahir, ini menjadi langkah awal dan akan lahir buku-buku lain yang jadi menjadi tanggung jawab moralnya dan itulah yang akan ia legalisasikan ke anak-anak muda.
Ia berkonsentrasi di tulisan dan berbasis dari penelitian lapangan karena ia wawancara. Sedangkan tidak ada di arsip nasional dan di perpustakaan nasional isu tentang ianfu. Kalau data pendukung, ia mendapatkan dari dunia internasional sehingga ia punya jaringan yang cukup kuat dan ada copyright. Data yang ia punya diminta dan diberikan karena untuk advokasi.
Pemerintah Indonesia masih menutup untuk terlibat penyelesaian politik dengan pemerintah Jepang. Tidak seperti Korea Selatan.
Buku “Momeye Mereka Memanggilku” berbasis oral historis. Eka menulisnya 100% berbasis kesaksian. Koichi menambahi dengan epilog. Buku Momoye menceritakan bagaimana dia kecil, beranjak remaja dan terjebak dalam iming-iming, dan Mardiyem adalah tokoh genuine yang punya memori kuat dan detail. Ia mengalami perkosaan pertama dan seterusnya dan apa yang terjadi di camp itu . Di kamar 11 angkatan pertama di pulau Jawa menyusul angkat berikutnya
Sesudah perang, apa yang terjadi berikutnya. Suaminya eks romusha jadi saling mengenal. Ada trauma seksual yang alasan frekuensi tidak terlalu tinggi. Ia pulang dan alami diskriminasi sosial dan punya usaha katering lantas bangkrut karena tidak ada yang order karena dianggap bekas Jepang. Suatu ketika ketemu teman yang dari Telawang dan mendaftar di LBH Jogja meski ada tokoh Tuminah. Mardiyem buka suara sejak di tahun 1993. Sedangkan Tuminah membuka suara tahun 1992. Lantas ada Sri Sukanti. Pasca perang banyak penyintas meninggal terkait sakit atas alat reproduksinya, entah kanker.
Buku Momoye berisi 300 halaman.Selama wawancara empat tahun Eka menjadi teman bagi mereka. Satu chapter Mardiyem bercerita sewaktu tinggal di Balikpapan. Eka memperlakukannya secara equal. Banyak tantangan yang dihadapi misalnya ketika ia siap, tapi mau wawancara penyintasnya tidur. Seperti kasus Suharti ia tinggal selama 10 hari. Eka salut pada Mardiyem saat-saat terakhir Mardiyem itu pecah. Dia sangat marah luar biasa. Eka selama 10 hari bersama mereka. Menurutnya menjadi penyintas itu berat. “Jadi Mardiyem marah Saya dikatakan bodoh tidak bisa bahasa Jawa. Ini sebagai pengingat. Jangan lagi ada perang karena kata Mardiyem di mana ada peluru di situ ada perempuan karena itu satu paket dengan pemerkosaan dalam perang. Malam itu kami berkonflik hebat,” terang Eka
Momoye di-launching di April 2008 di acara Kick Andy. Mardiyem datang. Ia sudah mengantarkan buku itu dan komitmen dengan Koichi. Enak bulan setelah itu Mardiyem meninggal karena sudah merasa purna. Semua terdokumentasi.
Kenapa "Ianfu" ?
Kenapa “Ianfu”? memakai tanda petik karena ini juga saling berhubungan. Untuk konteks Indonesia dan Belanda memang tidak ada jugun Ianfu seperti peristiwa di China. Yang Eka tahu sebab bertemu dengan para penyinyas, Thailand dan China, perempuan-perempuan ini dibawa ke medan pertempuran. Ketika tentara Jepang melakukan pertempuran, itu sambil memperkosa perempuan di saat bersamaan. Sementara di kasus Indonesia, tidak ada. Yang ada, tentara Jepang habis pulang dari mereka perang lantas balik ke basis, di mana di sana disediakan rumah bordir ya itulah Ianfu.
Jadi secara umum sebetulnya perang pasific tidak terjadi di sini (Indonesia). Secara konflik, sebagai alam. Dan manusia ada konflik kecil. Jepang harus baik dengan penduduk Hindia Belanda karena butuh dukungan. Lalu keluar slogan 3 A. Datang dengan tipu daya sehingga tidak ada perang. Ini relate dengan "Ianfu" merujuk pada praktik perbudakan seksual. Si Jepang tidak ada istilah yang tepat maka ada eufemisme maka ada tanda petik, sebab para penyintas tidak mau disebut penghibur.
Lantas bagaimana dengan trauma? Eka Hindra menyatakan harusnya ditangani oleh negara karena negara yang punya mekanisme, kekuatan politik, ekonomi untuk mendesain program healing. Di Taiwan ada buku bagaimana lembaga itu mewujudkan mimpi penyintas Ianfu "Ahma" atau nenek tapi secara khusus artinya Ianfu. Bagaimana lembaga ini menolong cita-cita masa kecil . Jadi ada yang menjadi pramugari. Ada yang menjadi pekerja kantoran dengan difoto secara kekinian. Atau cita-cita menikah, mereka memakai gaun pengantin. Sehingga mereka mewujudkan cita-cita dari kecil dengan difoto sebagai program healing dan itu program pemerintah.
Sementara yang Eka alami, satu peristiwa trauma panjang muncul di suatu hari, contohnya ia diminta teman di Jepang untuk menghadirkan Sri Sukanti sebagai penyintas paling muda di dunia datang ke Jepang. Untuk membawa Sri Sukanti yang mengalami traumatis berat, dan kehidupannya kekurangan secara ekonomi. Eka mengalami kesulitan di banyak hal. Ada problem internal dengan suami yang punya gap besar usia.
Sri Sukanti lantas pergi juga ke Jepang. Eka menyaksikan trauma menghancurluluhkan mentalnya. Sri Sukanti mengalami disorientasi waktu. Ia kira di Solo. Padahal ia mengalami perjalanan dari Salatiga, Solo, Jakarta, Jepang. Sampai ekstrem dia minta pulang kalau tidak dituruti akan turun dari lantai 8. Eka berlaku sebagai PRT mereka. Lantas terjadilah kehebohan. Akhirnya ia menemukan rokok gudang garam di Jepang untuk diberikan ke penyintas. Kita roadshow di kota lain di Fukuoka.
Ketika Eka bertemu dengan penyintas dan keluarga, ia menekankan mereka bukan pelacur Jepang. Buku Momoye lantas ia berikan ke keluarga penyintas dan ia tidak berpikir profit. Menurutnya ini bisa dipakai sebagai tools dari advokasi. Mereka mendukung isu ianfu.
Eka juga menceritakan pernah ditolak ketika datang di Blitar karena akses ke sana di hutan. Sampai di sana ia diusir. Dua tahun kemudian ia datang lagi ke sana.
Latar belakang penyintas secara pendidikan tidak sekolah dan buta huruf serta secara pengetahuan beda dengan Mardiyem. Karena mereka tidak mengetahui, maka Eka menjelaskan sejarah menulis Ianfu.
Narasi Ianfu ada pada iklan 2003 di koran harian merdeka, “Dicari Ianfu Karena Akan diberi Uang”. Jadi itu kemudian terinternalisasi. Padahal itu apa artinya? “Kalau dulu tidak dibayar sekarang dibayar berarti mereka pekerja seks komersial dong. Bukan sebagai HAM. Inilah yang harus diinformasikan sampai hari ini,”pungkas Eka. Ia menambahkan bahwa kerusakan kemanusiaan akibat perang, terjadi pada Ianfu, Heiho dan Romusha. (Ast)