Sorot

KPSI Solo Raya-GOOD Sigab Bersama Yaphi Belajar Gender dan Hak Kespro

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kekerasaan itu ada jika mengakibatkan penderitaan di antaranya adalah  fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Mengapa bisa terjadi kekerasan?Karena adanya kultur budaya. Jika ada yang mendapat kekerasan, dianggap aib, ditutup-tutupi, tidak dilaporkan. Ada lagi misalnya kalau anak akan menikah, terutama anak perempuan, ada wejangan dari orangtua, yang harus menyimpan segala permasalahan dalam rumah tangganya nanti hanya untuk dirinya sendiri. Kalau disampaikan akan dianggap membuka aib. Maka jika ada tindak kekerasan, si korban tidak dapat berani bersuara.

Kasus kekerasan sering dijadikan sebagai aib keluarga, tidak boleh diomong-omongkan. Kekerasan rentan terhadap perempuan dan anak. Karena perempuan dan anak paling tersubordinat,  lemah, dan bawah.

Bahkan di program PKK, dalam Panca Dharma Wanita pernah disebut “perempuan sebagai pencari nafkah tambahan” sekarang sudah dihapus, atau tidak dibacakan. Hal ini menandakan bahwa negara sudah peduli. Anak-anak juga rentan kekerasan, karena dianggap milik orangtua, dianggap sebagai aset. Jadi jika ada kekerasan, dianggap sebagai cara untuk mendidik. Jika salah satu identitas ini mengalami ketidakadilan, berarti masih ada ketimpangan gender. Kalau masih ada korban, berarti masih ada relasi kuasa.

Demikian penjelasan narasumber, Haryati Panca Putri biasa dipanggil Putri, dari Yayasan Yaphi pada pelatihan yang dihelat oleh Komuntas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Solo Raya dukungan program GOOD bertema Gender, Kesehatan Reproduksi dan Pencegahan Kekerasan  Seksual, Minggu 26/1 di Hotel Assalam Syariah, Surakarta.  

Putri memberikan pemahaman tentang gender, dan jenis kelamin atau seks melalui pemutaran film animasi pendek berdurasi delapan menit berasal dari Cekoslowakia, berjudul “The Impossible Dream."

Beberapa peserta terdiri dari anggota KPSI Solo Raya,  Mother Hope Indonesia (MHI), Bipolar Care Indonesia (BCI), dan pemangku kebijakan seperti Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP), Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusif (PLDPI) mengutarakan pendapat mereka atas film tersebut.

“The Impossible Dream” menceritakan sebuah keluarga yakni ayah, ibu dan anak-anaknya dan seorang bayi. Dalam kehidupan sehari-hari, terlihat dalam keluarga tersebut ketidakadilan gender terhadap ibu dan anak perempuannya dalam beban kerja yang mereka lakukan. Bagaimana si Ibu dalam film pendek digambarkan selain mengurus segala pekerjaan rumah tangga, ia juga seorang pekerja di industri garmen. Si suami sepulang kerja hanya berleha-leha saja, mengabaikan pekerjaan rumah tangga, Dan si anak perempuan membantu ibunya membersihkan rumah, menyiapkan makan sedang anak laki-laki berkebalikan.

Putri juga menjelaskan gagasan tentang gender bahwa gender merupakan sifat dan perilaku yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Gender juga dapat berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dan peran gender secara umum bersifat dinamis dan dapat berubah antar waktu. Sedangkan jenis kelamin atau seks merupakan faktor biologis seperti anatomi, fisiologi, genetika dan hormon, dan tidak dapat berubah.

Setelah membuka pelatihan dengan memutar film animasi pendek “The Impossible Dream” kemudian penjelasan merambah tentang seks atau jenis kelamin dan gender melalui penjelasan yang interaktif, Putri kemudian menutup pelatihan dengan kembali memutar video pendek, kali ini adalah iklan sebuah produk. Film iklan menggambarkan bagaimana beban ganda yang disandang oleh seorang istri sekaligus ibu itu teramat berat dan jika  terus-menerus berlangsung berportensi akan menimbulkan ketidakstabilan hubungan antar suami dan istri dalam sebuah keluarga. Beban ganda yang ketika hal itu disetarakan perannya, awalnya tidak mudah namun kemudian ketika menjadi pembiasaan bahwa seorang suami atau bapak bisa menjalankan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, adalah keniscayaan.

Beberapa peserta menyatakan bahwa materi seks dan gender adalah salah satu hal baru yang dia dapatkan. Seperti diungkapkan oleh Iffah bahwa materi sangat bagus dan pengetahuan baru baginya sebab selama ini, yang ia ketahui hanya ada jenis kelamin saja yakni perempuan dan laki-laki.  Sehingga membuka wawasan bahwa di dunia ini ada yang namanya peran sosial dan kesetaraan gender.

Hak Kesehatan dan Reproduksi serta HAM Difabel

Dikutip dari solidernews.com, Hak Kesehatan Reproduksi tidak tercantum dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) tetapi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.  Namun begitu CRPD memuat tentang hak untuk dilindungi dari semua bentuk eksploitasi, kekerasan dan pelecehan termasuk aspek-aspek berbagai gender dari tindakan-tindakan tersebut  baik di dalam maupun di luar rumah (Pasal 16 ayat 1).

CRPD juga memuat tentang hak untuk kawin dan membentuk keluarga berdasarkan persetujuan bebas dan penuh dari calon pasangan (pasal 23 huruf A). Bahkan di dalam pasal 23 ayat 3 di CRPD disebutkan antara lain bahwa dalam rangka memenuhi hak-hak tersbut, dan guna mencegah penyembunyian, peninggalan, penelantaran dan pemisahan difabel, Negara wajib menyediakan informasi dini dan komprehensif, pelayanan dan dukungan terhadap difabel anak dan keluarga mereka.

Hak kesehatan reproduksi mencakup hak hidup, hak untuk bebas dari risiko kematian akibat kehamilan, hak untuk mendapatkan pelayanan reproduksi dengan teknologi yang aman dan mutakhir, hak untuk tidak dipaksa menikah di usia anak-anak, dan hak untuk mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi tanpa paksaan.

Pelatihan sesi berikutnya, masih dengan narasumber dan fasilitator dari Yayasan YAPHI dinilai menarik oleh para peserta dari anggota KPSI, dan beberapa komunitas kesehatan mental lainnya serta para pemangku kebijakan. Metode yang disampaikan, selain paparan juga dengan brainstorming atau tukar ide serta lagu. Seperti yang disampaikan oleh Dorkas Febria, narasumber kedua pada pelatihan bagaimana ia mengajak seluruh peserta untuk mengajarkan kepada anak-anak menghindari kekerasan seksual dengan bermain tepuk dan lagu.

Mengawali paparannya, Dorkas menjelaskan terminologi Kesehatan Reproduksi, yakni berupa kesejahteraan fisik, mental dan sosial  yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya (sumber PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi).  Sedangkan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) adalah hak setiap individu untuk dapat mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka tanpa adanya diskriminasi, paksaan dan kekerasan.

Beberapa hal penting dan jadi poin disampaikan oleh Dorkas diantaranya bagaimana orangtua atau setiap pribadi yang sudah memiliki kesadaran tentang kesehatan reproduksi dengan tidak menormalisasi perilaku-perilaku yang selama ini dianggap biasa seperti : memandikan anak bukan di kamar mandi tapi di luar rumah, menggantikan popok dengan diperlihatkan kepada orang lain. Juga tentang bagaimana orangtua dan setiap individu menormalisasi hal-hal yang selama ini dianggap tabu seperti menyebut nama kelamin dengan nama yang lain misalnya untuk vagina dibilang ‘tahu’, untuk penis disebut  'manuk’.

 

Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual 

Dalam budaya masyarakat yang berlaku, pertengkaran atau kekerasan oleh anggota keluarga adalah aib yang harus ditutup rapat sehingga secara tidak langsung ikut melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, anak dan difabel. Selain perempuan dan anak, difabel pun memiliki kerentanan  sebagai korban kekerasan.

Lantas, bagaimana cara mencegahnya?  Yakni dengan memahami kesetaraan  dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga. Serta memberi informasi yang seluas-luasnya kepada setiap anggota keluarga, dan setiap orang, terkait pemahaman kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (HAM).  Dunung Sukocowati, narasumber sekaligus fasilitator ketiga kemudian menyampaikan beberapa kasus kekerasan seksual yang didampinginya yakni yang terjadi pada difabel mental dan Tuli.

Dunung juga memperkenalkan sedikit tentang Undang-undang Tidak Pidana kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan menjelaskan terkait  sanksi dan hukuman bagi pelanggarnya. (Ast)