Idha Musfi, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Perempuan Anak Surakarta (Komasipera), yakni komunitas yang terdir dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan individu pemerhati isu anak dan perempuan mengatakan bahwa selama ini pihaknya belum pernah audiensi ke pemerintah kota.
Padahal dalam kurun waktu setahun sejak pembentukannya, Komasipera telah melakukan beberapa kegiatan seperti pemetakan permasalahan anak dan perempuan dengan menghadirkan Pos Pelayanan Terpadu (PPT) dari setiap kelurahan di Kota Surakarta. Juga menghadirkan beberapa narasumber termasuk para profesional seperti dokter dan psikolog di beberapa diskusi menyoal tentang upaya mengedukasi masyarakat terkait dengan pencegahan kekerasan seksual. Demikian pembukaan acara refleksi Komasipera yang diselenggarakan pada Rabu (22/1) di Ruang Anawim, Yayasan Yaphi.
Haryati Panca Putri dari Yayasan Yaphi menyampaikan bahwa Komasipera dihidupi orang-orang yang punya konsen dan kepedulian. Komasipera bukan milik Yayasan Yaphi sebab ini adalah jaringan. Di Yayasan Yaphi tahun 2024 menangani enam kasus Kekerasan Seksual (KS) dan di tingkat pemangku kebijakan kurang adanya sinergi, dn koordinasi yang tidak maksimal, contohnya kasus di Kabupaten Sukoharjo. Belum adanya kesepakatan bersama/MoU antar lembaga dalam penanganan kasus kekerasan juga menjadi kendala. Untuk itu, lewat wadah jaringan Komasipera, ada upaya mencoba bagaimana meningkatkan kapasitas bersama. Sebab masih dijumpai bahkan seringkali memang belum pada perspektif yang sama.
Persoalan yang nyaris sama juga dihadapi oleh Rita, dari Yayasan Kakak dalam pendampingan anak korban kekerasan. Ia juga memberikan masukan bagaimana arah ke depan Komasipera supaya tidak parsial. Pihaknya masih menemukan kendala di kepolisian sebab masih ditemui, polisi malah mempertemukan korban dengan pelaku dalam rangka mendamaikan, lantas ada persoalan penundaan sidang. Mereka melakukan itu berdasar “kasus Vina” sehingga ada kekhawatiran atau kehati-hatian. Problem lainnya, pada satu kasus, pelaku membantu biaya anak korban, ketika dipolisikan maka bantuan berhenti. Juga adanya aturan, harus membawa korban ke Peksos Dinsos. Ketika ada sidang yang menghadirkan anak tapi dia (peksos) tidak datang dan tidak ada pemberitahuan, padahal kadang jaksa ingin yang datang adalah Peksos.
Yayasan Kakak juga memiliki catatan baik, antara lain UPTD PTPAS Surakarta sangat membantu korban anak secara psikologis, meski dengan tetap datang ke sana. Dan jika ada visum di RSJD, bisa diklaim. Di tahun 2024 ini karena adanya Permendikbud 46 tahun 2023, mereka lebih ada kesadaran dan kepedulian, ada satgas serta pihak sekolah mendampingi korban.
Pamikatsih dari Kelas GEDSI menyatakan pikirannya bahwa selama tujuh tahun belajar tentang GEDSI, namun kenyataan soal gender yang sudah diperjuangkan jauh dari harapan apalagi tidak masuk dalam sistem sehingga ia kemudian justru menggugat. “Sampai sekarang kita masih diperbodoh. Budaya yang ada bangsa ini dihapus.Bukan karena modernisasi dan dampak dari luar. Tapi negara sendiri ingin menghilangkan. Kita introspeksi sebagai perempuan dan difabel atas ketertindasan kita. Waktu kita ke masjid saya minta jalan landai. Dibilang kursi roda itu najis.Di Masjid Agung saya menggugat Pak Dian Nafi. Saya menggugat gereja Katolik. Romo teman saya, mbok dibikinkan guiding tapi untuk tempat barang,” Pamikatsih menceritakan kejadian saat-saat ia advokasi beberapa waktu lalu.
Kasiyati dari Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah merepresentasikan kembali makna kekerasan yang terjadi pada seorang istri oleh suaminya. Menurutnya, tafsir "memukul " itu terjemahan Kemenag. Bahkan oleh ulama yang dianggap kolot sekalipun sebenarnya "tidak boleh menyakiti kulit Ari". “Kami tidak boleh mendampingi klien untuk izin poligami,”kata Kasiyati.
Tahun 2024 MHH Aisyiyah melayani 900 kasus di Jawa Tengah. Paling banyak adalah kasus gugat cerai. Sehingga menurutnya, persoalan paling urgen saat ini pada perempuan pasca cerai sebagai seorang single parent sedangkan para laki-laki tidak memberi nafkah, meski Peraturan MA mengatakan Hakim menentukan nafkah terutang. Kasiyati juga menyinggung tentang perempuan korban belum masuk wilayah yang tergarap. Belum ada pula formula perlindungan untuk anak dari korban cerai.
Persoalan lainnya, menurut Kasiyati sekarang banyak ragam kekerasan anak anak laki-laki pelakunya anak perempuan dan itu terjadi di kalangan mahasiswa dan remaja. Mirisnya, juga ada kasus perlawanan pelaku dengan menyewa preman, padahal jejaring lemah. Bahkan pelaku mengancam juga lewat pengacara.
“Yang susah itu kalau kasus lintas, korban orang Solo pelaku di Sukoharjo. Memang tidak terbukti. Karena kita sudah menyembuhkan trauma. Karena proses lama, jadinya trauma sudah sembuh. Tapi baru dilaporkan,”jelasnya.
Abdullah dari LKBHI mengemukakan dari sisi pelayanan terhadap korban kekerasan perempuan dan anak, apa yang dilakukan LKBHI mayoritas baru sampai pada konsultasi dan pelayanan konseling psikolog. Beberapa kasus yang ia dampingi melibatkan pelaku dari dalam dan luar kampus seperti tenaga pendidikan dan petugas kebersihan, dengan korban mahasiswa serta ada korban dari luar kampus. Mengenai bentuk bentuk kekerasan, ada yang konvensional dan ada yang berbasis online. Tapi ada satu kasus korban dan pelaku sama-sama laki-laki, orientasi seksual yang berbeda, menjadi korban karena ikut aplikasi kencan.
Menutup pertemuan refleksi Komasipera, Vera kartika Giyantari menyatakan bahwa Komasipera terbuka bagi siapapun yang ingin bergerak bersama dalam konteks isu perempuan dan anak, baik isu pendidikannya disabilitasnya, termasuk mengambil perannya. Artinya, siapa yang akan mengambil peran apa, lantas melakukan apa, tidak harus di Yayasan Yaphi, namun siapa yang punya program, sebagai bentuk menggerakkan masyarakat sipil. Selama ini yang sudah dilakukan adalah penguatan di komunitas masyarakat sipil dan penanganan kasus. Ke depan dibutuhkan untuk penguatan keluarga, pola asuh, pendidikan dan supaya tidak teradikalisasi. (Ast)