Sorot

PJS Turut Bersolidaritas atas 20 Tahun Peristiwa Pembunuhan Munir

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Marsinah Dede dari Perhimpunan Jiwa Sehat  (PJS) dalam penyampaian solidaritasnya pada Konferensi Pers 20 Tahun Peristiwa Pembunuhan Munir, Kamis (5/9) mengatakan bahwa ia sangat mendukung Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)  dan gerakan untuk memastikan bahwa kasus Munir segera diusut secara tuntas dan pelakunya diadili seberat-beratnya. Ada negara dan  tentara yang tersangkut kasus pembunuhan Munir. Siaran pers juga disiarkan lewat akun YouTube Kontras dan  Yayasan LBH Indonesia.

Menurut Dede, ia setuju jika kasus Munir dibuka dan diusut kembali serta diselesaikan  karena jika tidak, keberulangan akan terus terjadi pada kerja-kerja demokrasi dan kerja- kerja HAM yang ia dan teman-temannya lakukan. Warga akan terus mengalami dan menemui segala bentuk pelanggaran HAM ketika suara- suara demokrasi dan suara-suara untuk mempertahankan dan memperjuangkan HAM di Indonesia akan berbenturan dan negara menjadi aktor terhadap pelanggaran HAM.

Sebagai lembaga advokasi pendamping difabel mental, Dede dengan PJS tiap hari menemui berbagai pelanggaran HAM dari sebelum Indonesia merdeka sampai Indonesia merdeka yang belum pernah tertuntaskan yakni pelanggaran HAM di panti-panti rehabilitasi mental.  "Saya pikir aktivis-aktivis yang hilang bisa juga dibuang di panti, kita tidak tahu.  Banyak keluarga yang tidak tahu mereka ada di mana. Banyak penyiksaan, mereka dirantai  dan dipasung, kemudian diisolasi. Mereka tidak punya hak untuk memilih bahkan bersuara seperti kita, "ujar Dede.

Jadi menurut Dede, PJS sangat berkepentingan untuk merebut  demokrasi, menegakkan demokrasi dan HAM di Indonesia karena tanpa demokrasi dan  penegakan HAM maka Munir dan semua orang di Indonesia berasa dalam ancaman setiap saat, karena tidak akan bisa hidup dengan tenang serta tidak pernah hidup dalam demokrasi.

Pada konferensi pers yang menghadirkan perwakilan dari Imparsial, Kontras, YLBI dan Aliansi Perempuan Indonesia serta komunitas-komumitas, hadir pula anak kedua Munir, Diva Suukyi Larasati.

"Tuntutan saya selalu sama dari dulu, dari umur saya dua tahun sampai umur saya 22 tahun, yaitu selesaikan janji-janji kalian yang kalian omongkan kepada ibu saya dan keluarga saya, bahwa kalian akan menuntaskan kasus Abah saya," tutur Diva Suukyi Larasati.

Diva, dengan nada menahan emosi, secara khusus menagih janji kepada Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat sebagai presiden Indonesia pada saat pembunuhan Munir pada 2004, untuk memberi keadilan bagi keluarganya.

"Bapak Jokowi, Bapak SBY, tolong selesaikan. Sampai sekarang belum (selesai_red) lho, (sudah_red) 20 tahun," tegasnya.

"Tuntutan saya (masih_red) sama sampai sekarang. Tuntutan ibu saya (masih_red) sama sampai sekarang, berikan keadilan bagi bapak saya," sambungnya.

Tak hanya menuntut penyelesaian kasus pembunuhan ayahnya, Diva juga mendesak pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM lainnya.

Niat Sekolah dan Akan Boyong Keluarga ke Belanda juga untuk "Mengobati" sang Anak yang Autis

Dikutip dari Tempo.co, aktivis HAM, Munir Said Thalib berangkat ke Belanda demi putra sulungnya, Soultan Alif Allende alias Alif, kini berusia 26 tahun. Meski tujuan awalnya untuk kuliah karena mendapat beasiswa, tapi Munir berencana memboyong seluruh keluarganya ke sana ketika sudah menetap di Belanda. Khusus untuk Alif, Munir berkeinginan mengobati putranya itu karena mengalami autisme.

Istri Munir, Suciwati, bercerita, saat suaminya akan berangkat ke Belanda pada 6 September 2004, Munir sudah berpesan akan menjemput Suci beserta dua anaknya, Alif dan Diva Suukyi, pada Desember tahun yang sama. "Saya selalu mengingatkan soal niat sekolah ke Belanda," kata Suci.

Tapi, naas bagi pendiri lembaga Kontras tersebut, ia tewas terbunuh dengan cara diracun dalam penerbangan menggunakan maskapai nasional Garuda Indonesia, pada 7 September 2004 silam. Seorang pelakunya diketahui adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Mantan Direktur Utama Garuda ini divonis 14 tahun penjara, tapi dinyatakan bebas,  setelah menjalani hukuman selama delapan tahun penjara. (Ast)