Erosi demokrasi terjadi karena adanya kemerosotan demokrasi secara terus-menerus atau pada masa pemerintahan Jokowi, dan bisa dikatakan bahwa demokrasi semakin tergerus. kemarin itu ambang batas kesabaran masyarakat. Demikian prolog yang disampaikan dalam talkshow yang dihelat oleh Konde.co di platform X pada Rabu, 4/9/2034.
Talkshow yang menghadirkan Bivitri Susanti, seorang akademisi di bidang hukum, mengatakan bahwa yang menarik juga saat ini karena para Influencer yang baik, ikut turun ke jalan, ditunjukkan dengan aksi dan demo 21 Agustus lalu "ini saatnya ngomong bahwa kalian salah,nggak boleh begini," demikian kata Bivitri menirukan kata-kata influencer.
Lantas erosi demokrasi itu gejalanya bagaimana? proyek-proyek pemerintah atau bisa disebut Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sebenarnya bukan menguntungkan Indonesia tetapi hanya sekelompok kecil saja misalnya tambang nikel, batu bara, dan kelapa sawit. Erosi demokrasi ini ditandai juga dengan adanya ancaman kepada masyarakat sipil. Baru-baru ini setelah aksi besar pada 21 Agustus lalu, ada serangan ke web ICW dan Perludem. Harusnya mereka (aparat) juga melindungi hak-hak sipil warganya, namun yang terjadi di banyak daerah di antaranya Makassar dan Semarang, mereka para masyarakat sipil yang berdemo malah dipukuli dan disemprot dengan gas air mata. Lalu represi juga dilakukan di kampus, dengan bentuk kekerasan berupa skorsing bagi mahasiswa yang ikut aksi demo.
Sangat berbeda situasinya di Yogyakarta, karena ada dosen yang mengizinkan mahasiswa untuk libur perkuliahan dan kuat aksi demo. Menurut Bivitri mestinya hal demikian disyukuri karena artinya pembelajaran selama ini berhasil.
Kembali ke topik erosi demokrasi, saat ini sedang terjadi erosi demokrasi di segala lini, dalam struktural, sistem pendidikan dan model model penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu.
Otokratik legalism bahwa hukum yang benar dan utama untuk tujuan otokratik untuk memperbesar kekuasaan bagi kelompoknya dengan membunuh demokrasi menggunakan lembaga- lembaga hukum.
"Mungkin selama 10 tahun ini, yang bukan circle kita kagum, sebab dibungkus dengan legalisme, lantas kita dikasih narasi itu, yang selama ini diterima dan seakan akan-akan benar,"ungkap Bivitri.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh host bahwa mungkin 5-10 tahun yang lalu kita masih percaya pemerintah tidak ada yang salah dibanding rezim yang lalu. Tetapi begitu masuk di pilpres lalu, baru sadar kalau kita dipermainkan.
Jadi situasinya seperti apa sehingga muncul "situasi darurat" jadi isu dan trigger-nya adalah kawal UU pilkada.
Keterwakilan Perempuan dan Pilkada
Lantas terkait keterwakilan perempuan di politik dan pilkada, apakah itu berarti bisa dibilang situasi perempuan termasuk darurat? situasinya seperti apa terutama di rezim Jokowi saat ini?
Bivitri menjawab bahwa keterwakilan perempuan jangan hanya dimaknai simbolik misalnya jumlah, tetapi substansif apakah isu-isu terbawa tidak?
Dalam erosi demokrasi, yang terpengaruh adalah perempuan, sebab kelompok pro demokrasi ketika bicara tentang perempuan tidak dianggap bahkan dianggap bukan isu yang sebagai isu bersama. Akhirnya isu perempuan dimaknai sebagai hal-hal yang simbolik.
Sebenarnya ada contoh bagus yakni Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) hasil kerja bersama dan memerlukan waktu 10 tahun lebih. Kolaborasinya bagus sekali dan berbeda dengan Undang-Undang lainnya.
Saat ini ada Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sampai hari ini masih diadvokasi oleh para aktivis. Ada pula isu lainnya, perempuan dalam membuat kebijakan sehari-hari juga misalnya membicarakan ibadah haji, apakah lansia/senior citizen kebutuhannya dipenuhi. Belum lagi isu gender mainstreaming. Lantas bagaimana isu perempuan di pilkada?
"Di Jawa Timur ada tiga calon perempuan dalam Pilgub, tapi yang lainnya tidak. Kalau dilihat bisa dikatakan kapasitas mereka tiga kali dibanding laki laki. Mereka bekerja jauh lebih berat dari peer groupnya lali laki. Padahal setiap kebijakan harus ada keterwakilan perempuan dan semua isu harus ada perempuannya. Artinya harusnya perempuan ada di semua isu. tapi sekarang malah eksklusif, makin dipinggirkan dan hanya di-mix saja. Isu perempuan dianggap sebagai isu yang khas yang tidak jauh dari domestik dan angka elektoral,"ungkap Bivitri.
Padahal menurutnya isu perempuan adalah isu interseksual. Juga isu yang lain. Tetapi mereka mengisolasi, mereka yang ada di dewan banyak yang tidak melihat bahwa isu perempuan adalah interseksual.
Bivitri menambahkan bahwa isu perempuan dalam politik digambarkan stereotip. Perempuan di DPR, dia naik, tapi perempuan itu dan banyak lagi anggota yang politikus perempuan yang sesungguhnya tidak paham isu gender. Isu perempuan mereka dihadirkan untuk memenuhi kuota-kuota saja, dan secara angka ada kenaikan. Tetapi ketika berdebat di DPR, championnya sedikit. "Orang-orang seperti mbak Luluk, Diah Pitaloka, contohnya. Padahal banyak perempuan dan banyak yang ketika diajak bicara isu gender masih belum tertinggal. Artinya kita tidak bisa mengasumsikan bahwa semua perempuan yang ada di DPR paham perannya sebagai keterwakilan secara substantif. Dunia politik kita itu "boys club". Cara mereka berdiskusi semua seksis. Dari cara berelasi medsos saja, misalnya mereka memproduksi stiker-stiker cewek seksi," imbuh Bivitri.
Host talkshow, Salsabila Putri Pertiwi, redaktur Konde.co, menambahkan bahwa di ranah publik pun banyak pejabat yang mengeluarkan statemen seksis dan misoginis. bahwa perempuan dan entitas yang lain dilihat hanya sekadar angka statistik dan bukan bagian masyarakat yang diwakilkan.
Bivitri menjawab itulah akibat dari pendidikan di Indonesia yang secara struktural tidak mengajarkan tentang kesetaraan gender dan pendidikan seksual. Dan selama ini Indonesia dibikin cukup merasa happy karena pernah punya presiden perempuan dan ketua DPR perempuan. Tetapi substantifnya mana, apakah perempuan di dalam gedung dewan sana paham bahwa saat ini UU PPRT sangat dibutuhkan.
Brutalitas Aparat dan Pembatasan Aksi
Salsabila menceritakan bagaimana dulu ia ikut aksi demo "Reformasi Dikorupsi." Ada tindakan penggusuran di Bandung dan ada kekerasan oleh aparat berupa gas air mata juga.
Dan kemarin ketika aksi "Situasi Darurat" untuk mengawal putusan MK, terjadi lagi kekerasan dan itu berulang yang menjadi pola perpanjangan pemerintah. Lantas pertahyaannya mengapa kita harus sadar kondisi demokrasi darurat seperti ini dan sedarurat apa? kKarena selain dibatasi UU ITE dan jurnalis dibatasi pun juga dibatasi dan dikriminalisasi, media dijual ke pemodal, lantas ada "union busting" sedarurat itukah?
Bivitri menjawab bahwa sebenarnya pelakunya bukan hanya lembaga negara tetapi korporasi misalnya para pekerja media di CNN Indonesia yang pendiri serikatnya dipecat 10 orang dan semua paham bahwa pemilik groupnya adalah orang partai politik dan jadi bagian dari kekuasaan.
Jadi kedaruratannya di situ, ketika dunia politik dipenuhi belantara politik, benturan itu antara politik dan oligarki. ada pemburu rente di tengah-tengah yang mengambil keuntungan. Mereka cuma jadi makelar dan dapat duit dan itu menimbulkan biaya tinggi sehingga bisa dikatakan politik Indonesia itu berbiaya tinggi. Dan yang membuat biaya tinggi mereka sendiri. Bahkan sudah menjadi rahasia umum jika di pilkada siapa saja yang mau mencalonkan diri harus membayar partainya. Sehingga politik dipakai untuk mencari uang.
"Tetapi kita tidak bisa jauh dari politik, karena kita tiap hari keluar rumah langsung alami polusi udara, itu juga politik. Apa pun yang kita hadapi sehari-hari adalah politik. Dan ternyata politik dibuat cari uang bagi mereka. Padahal, bolehlah cari uang tetapi jangan mengambil hak masyarakat.Dan kita sudah banyak belajar dalam beberapa hal dalam minggu-minggu ini dan darurat itu masih ada,"ungkap Bivitri.
Sekarang meski Demo Ada dan Skala Kecil, Ini adalah Awal
Bivitri mengatakan bahwa kritik dari masyarakat harus terus berjalan seperti orang-orang yang pikirannya seterbuka seperti kemarin (21 Agustus) yang sebenarnya diskusi tentang aksi demo itu sudah dimulai dengan konsolidasi di X Space bahkan diikuti 28 ribu orang.
"Kritik bisa dilakukan melalui tulisan, teater, dengan membikin perlawanan seperti pameran seni contohnya dilakukan oleh Agus Noor. Dan sebenarnya masih terus berjalan dan tidak bisa kita dikecilkan setiap peran. Aksi yang dilakukan para mahasiswa kemarin itu belum selesai, ini perlu diteruskan. Jangan takut dengan asumsi
"melawan itu merusak". Yang benar melawan itu meluruskan untuk terbuka ruang kritik. Kita ada suplay and demand. Dan kita bikin bahwa kita semua adalah warga negara yang bawel, dan tidak harus dengan demonstrasi. Termasuk apa yang disebut nepotisme, jangan diteruskan.Nanti ada active citizen, kita minta hak kita. Itu yang akan kita bangun," pungkas Bivitri. (Ast)