Sorot

Erosi Demokrasi dan Tak Terwakilkannnya Perempuan dalam Pilkada

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Erosi demokrasi  terjadi karena adanya kemerosotan demokrasi secara terus-menerus atau pada masa pemerintahan Jokowi, dan bisa dikatakan bahwa demokrasi  semakin tergerus. kemarin itu ambang batas kesabaran masyarakat. Demikian prolog yang disampaikan dalam talkshow yang dihelat oleh Konde.co di platform X pada Rabu, 4/9/2034.

Talkshow yang menghadirkan Bivitri Susanti, seorang akademisi di bidang hukum, mengatakan bahwa yang menarik juga saat ini karena para Influencer yang baik, ikut  turun ke jalan, ditunjukkan dengan aksi dan demo 21 Agustus lalu  "ini saatnya ngomong bahwa  kalian salah,nggak boleh begini," demikian kata Bivitri menirukan kata-kata influencer.

Lantas erosi demokrasi itu  gejalanya bagaimana?  proyek-proyek pemerintah atau bisa disebut Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sebenarnya bukan menguntungkan Indonesia tetapi hanya sekelompok kecil saja misalnya tambang nikel, batu bara, dan  kelapa sawit. Erosi demokrasi ini ditandai juga dengan adanya  ancaman kepada masyarakat sipil. Baru-baru ini setelah aksi besar pada 21 Agustus lalu, ada serangan ke web ICW dan Perludem. Harusnya mereka (aparat) juga melindungi hak-hak sipil warganya, namun yang terjadi di banyak daerah di antaranya  Makassar dan Semarang, mereka para masyarakat sipil yang berdemo malah dipukuli dan disemprot dengan gas air mata. Lalu represi juga dilakukan di kampus, dengan bentuk kekerasan berupa skorsing bagi mahasiswa yang ikut aksi demo.

Sangat berbeda situasinya di Yogyakarta, karena ada dosen yang mengizinkan mahasiswa untuk libur perkuliahan dan kuat aksi demo. Menurut Bivitri mestinya hal demikian disyukuri karena artinya pembelajaran selama ini berhasil.

Kembali ke topik erosi demokrasi, saat ini sedang terjadi  erosi demokrasi di segala lini, dalam struktural, sistem pendidikan dan model model penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu.

Otokratik legalism bahwa hukum yang benar dan utama untuk tujuan otokratik untuk memperbesar kekuasaan bagi kelompoknya dengan  membunuh demokrasi menggunakan lembaga- lembaga hukum.

"Mungkin  selama 10 tahun ini, yang bukan circle kita kagum, sebab  dibungkus dengan legalisme, lantas  kita dikasih narasi itu, yang selama ini diterima dan seakan akan-akan benar,"ungkap Bivitri.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh host bahwa mungkin 5-10 tahun yang  lalu kita masih percaya  pemerintah tidak  ada yang salah dibanding rezim yang  lalu. Tetapi begitu masuk di pilpres lalu, baru sadar kalau kita dipermainkan.

Jadi  situasinya seperti apa sehingga muncul  "situasi darurat" jadi isu  dan trigger-nya adalah kawal UU pilkada.

 

Keterwakilan Perempuan dan Pilkada

Lantas  terkait keterwakilan perempuan di politik dan pilkada, apakah itu  berarti bisa dibilang situasi perempuan termasuk darurat? situasinya seperti apa terutama di rezim Jokowi saat ini?

 Bivitri menjawab bahwa   keterwakilan perempuan jangan hanya dimaknai simbolik misalnya jumlah,  tetapi substansif apakah isu-isu terbawa tidak?

Dalam erosi demokrasi, yang terpengaruh adalah perempuan, sebab  kelompok pro demokrasi ketika bicara tentang  perempuan tidak dianggap bahkan  dianggap bukan isu yang sebagai isu bersama.  Akhirnya isu perempuan dimaknai sebagai hal-hal yang simbolik.

Sebenarnya ada contoh bagus yakni Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) hasil  kerja bersama dan memerlukan waktu  10 tahun lebih. Kolaborasinya bagus sekali dan berbeda dengan Undang-Undang  lainnya.

Saat ini ada Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sampai hari ini  masih diadvokasi oleh para aktivis. Ada pula isu lainnya, perempuan  dalam membuat kebijakan sehari-hari juga  misalnya membicarakan ibadah haji,  apakah lansia/senior citizen kebutuhannya dipenuhi.  Belum lagi isu gender mainstreaming. Lantas  bagaimana isu perempuan di pilkada?

"Di Jawa Timur ada  tiga calon  perempuan dalam Pilgub, tapi yang lainnya tidak. Kalau dilihat bisa dikatakan  kapasitas mereka tiga kali  dibanding laki laki. Mereka bekerja jauh lebih berat dari peer groupnya lali laki. Padahal setiap kebijakan harus ada keterwakilan perempuan dan  semua isu harus ada perempuannya. Artinya harusnya perempuan ada di semua isu. tapi sekarang malah eksklusif, makin dipinggirkan dan hanya di-mix saja.  Isu perempuan dianggap sebagai isu yang khas yang tidak  jauh dari domestik dan angka elektoral,"ungkap Bivitri.

Padahal menurutnya isu perempuan adalah isu  interseksual. Juga isu yang lain. Tetapi mereka mengisolasi, mereka yang ada di dewan  banyak yang tidak melihat bahwa isu perempuan adalah interseksual.

 Bivitri menambahkan bahwa isu  perempuan dalam politik digambarkan stereotip. Perempuan di DPR, dia naik,  tapi perempuan itu dan  banyak lagi  anggota yang politikus perempuan yang sesungguhnya tidak paham isu gender.  Isu perempuan mereka dihadirkan untuk memenuhi kuota-kuota saja, dan secara angka ada kenaikan.  Tetapi ketika berdebat di DPR, championnya sedikit. "Orang-orang seperti mbak Luluk, Diah Pitaloka, contohnya. Padahal  banyak perempuan dan banyak yang ketika diajak bicara isu gender masih belum tertinggal. Artinya kita tidak bisa  mengasumsikan bahwa semua perempuan yang ada di DPR paham perannya sebagai keterwakilan secara substantif.  Dunia politik kita itu "boys club". Cara mereka berdiskusi semua seksis. Dari cara berelasi medsos saja, misalnya mereka memproduksi stiker-stiker cewek seksi," imbuh Bivitri.

Host talkshow, Salsabila Putri Pertiwi, redaktur Konde.co, menambahkan bahwa  di ranah publik pun banyak pejabat yang  mengeluarkan statemen seksis dan misoginis. bahwa perempuan dan  entitas yang lain dilihat  hanya  sekadar angka statistik dan bukan bagian masyarakat yang diwakilkan.

Bivitri menjawab itulah akibat dari pendidikan di Indonesia yang secara struktural tidak mengajarkan tentang kesetaraan gender dan pendidikan seksual. Dan selama ini Indonesia dibikin cukup merasa happy karena  pernah punya presiden perempuan dan ketua DPR perempuan. Tetapi substantifnya mana, apakah perempuan di dalam gedung dewan sana  paham bahwa saat ini UU PPRT sangat dibutuhkan.

 

Brutalitas Aparat dan Pembatasan Aksi

Salsabila menceritakan bagaimana dulu ia ikut aksi demo "Reformasi Dikorupsi." Ada tindakan  penggusuran di Bandung  dan  ada kekerasan oleh aparat berupa gas air mata juga.

Dan kemarin ketika aksi "Situasi Darurat" untuk mengawal putusan MK, terjadi lagi kekerasan dan  itu berulang yang  menjadi pola perpanjangan pemerintah. Lantas  pertahyaannya mengapa kita harus sadar kondisi demokrasi darurat seperti ini dan sedarurat apa? kKarena selain  dibatasi UU ITE dan jurnalis dibatasi pun juga dibatasi dan dikriminalisasi,  media dijual ke pemodal, lantas ada "union busting" sedarurat itukah?

Bivitri menjawab bahwa  sebenarnya pelakunya bukan hanya lembaga negara tetapi korporasi  misalnya para pekerja media di  CNN Indonesia yang pendiri serikatnya dipecat 10 orang dan semua  paham bahwa pemilik groupnya adalah  orang partai politik dan jadi bagian dari kekuasaan.

Jadi kedaruratannya di situ, ketika dunia politik dipenuhi belantara politik,  benturan itu antara politik dan oligarki. ada pemburu rente di tengah-tengah yang mengambil keuntungan.  Mereka  cuma jadi makelar dan dapat duit dan itu menimbulkan biaya tinggi sehingga bisa dikatakan  politik Indonesia itu  berbiaya tinggi. Dan yang membuat biaya tinggi mereka sendiri. Bahkan sudah menjadi rahasia umum jika di  pilkada siapa saja yang mau mencalonkan diri harus membayar partainya.  Sehingga politik dipakai untuk mencari uang.

"Tetapi kita tidak bisa jauh dari politik,  karena kita tiap hari keluar rumah langsung alami  polusi udara, itu juga politik.  Apa pun yang kita hadapi sehari-hari adalah politik. Dan ternyata politik dibuat cari uang bagi mereka. Padahal,  bolehlah cari uang tetapi jangan mengambil hak masyarakat.Dan kita sudah banyak belajar dalam beberapa hal dalam minggu-minggu ini  dan darurat itu masih ada,"ungkap Bivitri.

 

Sekarang meski Demo Ada dan Skala Kecil, Ini adalah Awal

Bivitri mengatakan bahwa  kritik dari masyarakat harus terus berjalan seperti  orang-orang yang pikirannya seterbuka seperti kemarin (21 Agustus)  yang  sebenarnya diskusi  tentang aksi demo itu sudah dimulai dengan konsolidasi di X Space bahkan diikuti 28 ribu orang.

"Kritik  bisa dilakukan  melalui tulisan, teater, dengan membikin perlawanan seperti  pameran seni contohnya dilakukan oleh  Agus Noor.  Dan sebenarnya masih terus berjalan dan tidak bisa kita dikecilkan  setiap peran. Aksi yang dilakukan para mahasiswa kemarin itu  belum selesai,  ini perlu diteruskan.  Jangan takut dengan asumsi

"melawan itu merusak". Yang benar  melawan itu meluruskan untuk terbuka ruang kritik.  Kita ada suplay and demand. Dan kita bikin bahwa kita semua adalah warga negara yang bawel, dan tidak  harus dengan demonstrasi. Termasuk apa yang disebut nepotisme, jangan diteruskan.Nanti ada active citizen,  kita minta hak kita. Itu yang akan kita bangun," pungkas Bivitri. (Ast)