Lintas Berita

Diskusi JLPAK2S Sikapi Berbagai Persoalan Kekerasan Seksual di Sukoharjo

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Beberapa persoalan mengalami terus keberulangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Sukoharjo. Persoalan-persoalan tersebut antara lain : visum terhadap korban masih berbayar, pemberian bantuan dilakukan rombongan ke rumah korban oleh dinas dengan pakaian seragam, belum tersedia psikolog yang memadai selain di RSUD Ir.Soekarno, respon kasus masih birokratif, belum ada pendampingan anak korban saat pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), petugas kepolisian (PPA) ketika bertanya pada korban anak sifatnya kasar dan tidak punya perspektif, pemulihan korban hanya dalam kegiatan pemberian bantuan sembako, akses test DNA masih berbayar, korban masih mendapat stigma, perbaikan akses layanan korban diberikan secara kasus per kasus, belum menjadi sistem layanan yang integrasi dan komprehensif. Demikian identifikasi penanganan kasus yang dilakukan oleh Jaringan Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S) dalam diskusi yang digelar di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI, Kamis (16/1).

Seperti yang diceritakan oleh Dunung Sukocowati  ketika mendampingi  kekerasan seksual dengan korban perempuan difabel untuk pemenuhan biaya Akomodasi Yang Layak (AYL)  mesti berjejaring dengan Paguyuban  Sehati.  Ia juga menceritakan terkendala dengan akses kesehatan karena yang menjadi korban adalah seorang difabel mental dengan usia intelektual 8 tahun.  Ia tinggal bersama keluarganya dan ibunya seorang perempuan difabel fisik. Si korban yang telah melahirkan seorang anak, dan anak tersebut harus  mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan. Dunung sebagai pendamping kemudian melakukan konsultasi dengan dinas terkait yakni  Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A)  yang kemudian dijejaringkan dengan pemangku kewajiban lainnya seperti dinas sosial, dinas kesehatan (puskesmas dan bidan desa) dan dinas pendidikan.

Belum adanya sistem yang terintegrasi dalam penanganan kasus kemudian mengakibatkan kasus yang berjalan ditangani berjalan sendiri-sendiri atau kasus perkasus. Padahal sebenarnya DP2KBP3A Kabupaten Sukoharjo telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan kasus seperti tertuang dalam Perbup nomor 06 tahun 2024. SOP tersebut dirasa belum menjawab persoalan karena SOP yang dimaksud hanya dilakukan dan dikerjakan oleh DP2KBP3A saja, dan belum melibatkan dinas dan pemangku kepentingan lainnya dalam sebuah sistem.

Edy Supriyanto dari Sehati, menyatakan bahwa penting pula untuk mengetahui karakteristik Kabupaten Sukoharjo, bagaimana dengan pemangku kewajiban dan kepentingannya. Ini kenapa, karena ada indikasi masih ada yang merasa alergi ketika berhadapan dengan NGO atau LSM, yang peran di masyarakat kadang masih dikaburkan sebagai organisasi massa.

Kalau merunut upaya advokasi yang telah dilakukan oleh JLPAK2S di Kabupaten Sukoharjo, secara pengalaman, tiga tahun lalu telah melakukan audiensi kepada DPRD dengan menyatakan permasalahan yang nyaris sama seperti tulisan di atas. Namun, hingga hari ini setiap organisasi pengada layanan atau NGO yang melakukan pendampingan terhadap korban masih dihadapkan dengan persoalan yang sama.

Atas permufakatan  jaringan yang terdiri dari YAPHI, SPEK-HAM, Sehati, Kakak, MHH Aisyiyah, Fatayat NU, Kaukus Perempuan Surakarta (KPS), LKBHI dan anggota jaringan lainnya kemudian bersepakat jika akan melakukan audiensi kepada DP2KB3A yang melibatkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain seperti  Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan. Untuk keperluan itu jaringan membutuhkan materi data kasus dan kronologi serta fakta kasus  dari anggota jaringan yang mendampingi kasus tahun 2024. Beserta daftar isian kendala dan hambatan penanganan kasus dan bersiap untuk kerja-kerja kolaborasi di masa mendatang. (Ast)