Lintas Berita

Letsstalk_Sexualities : Kebebasan Berekspresi yang Diopresi dalam Draft Rancangan Undang-Undang Penyiaran

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Nia Dinata, praktisi seni, sutradara film,  menyikapi tentang draft RUU Penyiaran terkait kiprahnya dari perspektif industri film dalam diskusi publik yang dihelat oleh Lesstalk_Sexualities pada Sabtu (15/6) mengatakan bahwa sebagai sutradara dan produser ia tidak hanya menyutradari fiksi tapi juga memproduksi film dokumenter. Menurut Nia kerja-kerja dokumenter itu kerja faktual dan bukan fiksi berdasar most in the time investigation. Ia menghargai dukungan dan interseksion dari pers dan dokumentasi.

Terkait soal gender, LGBT, anak-anak, menurutnya ini membuka wacana bahwa gender itu beragam dan perempuan banyak dalam hidup yang belum ter-equal. Itu jika dinarasikan seperti dalam film garapannya Ca Bau Kan. Ada adegan perempuan diperkosa dan Nia dipanggil lembaga sensor, "adegan ini harus dipotong. " Lalu ia bilang kepada ketua lembaga sensor saat itu mengajak nonton filmnya lalu berdiskusi dan sampai pada kesimpulan, "Tidak akan saya potong. "

Menceritakan tentang Film "Arisan"garapannya yang juga ada pengekspresian terkait keragaman seksualitas, Nia menambahkan pada  Tahun 2016 ada filmnya yang tidak lulus sensor padahal untuk usia 13 tahun berjudul "Tiga Dara". Ia bertemu ketua lembaga sensor. Setelah pertemuan tujuh kali akhirnya diloloskan dengan potongan-potongan yang membuat Nia patah hati. Lantas Nia bisa berekspresi di netflix dan platform lainnya. Tidak ada sensor kecuali internal mereka. Mereka sangat demokratis. Ia heran mengapa film-film horor tidak mengalami hal seperti di atas. Ia mempertanyakan, ada apa dengan sensorship di Indonesia. Ia lalu merasa bisa exited di Overlay Transport Virtualization (OTV), digital platform.

Dede Oetomo, aktivis keberagaman gender dan seksual GAYa NUSANTARA menyikapi draft RUU Penyiaran dalam diskusi yang dihelat oleh Letsstalk_Sexualities, Sabtu (15/6) menyoroti hak berekspresi dan hak belajar sebagai hak fundamental manusia. Secara umum ia menilai draft RUU ini sebagai mundurnya demokrasi. Indonesia adalah anggota WHO, namun banyak sekali kejadian dokter "asal potong" untuk alasan "perbaikan alat kelamin" yang berakibat depresi dan melakukan bunuh diri saat dewasa. Pada kebudayaan Bugis dikenal  gender yang ada lima. Maka menurut Dede, oleh Musdah Mulia, ada istilah transpuan sedangkan  pemerintah orde baru menyebut waria.

Dede Oetomo mengkhawatirkan dampak negatif revisi RUU penyiaran ini terkait LGBT. Sebab menurutnya ketika berbicara tentang manusia lalu ada kata sensor, mereka yang sangat rentan. Ini bisa diartikan mereka yang menyusun draft RUU ini anti pancasila. Maka tekadnya tak mau berdiam diri, ia lalu mengutip kalimat,"Berdiam diri tidak akan melindungi diri kita". Ia yakin jika draft RUU ini berpotensi membunuh orang-orang yang memiliki keberagaman gender dan seksualitas. Padahal jika di luar negeri kalau kalau membicarakan soal keberagaman gender, mestinya Indonesia malu. Sebab mereka sudah jauh melesat pikirannya. Lantas Dede mempertanyakan apakah bisa melakukan class action karena menurutnya para politisi dan ulama sedang mempermalukan.

Melani Budianta,  Guru Besar FIB Universitas Indonesia dalam diskusi publik menyatakan kekhawatiran atas ruang kebebasan berekspresi yang semakin  sempit. Jika terkait keberagaman gender sudah semakin rentan dengan me-Liyan-kan kelompok minoritas seksual lantas bagaimana dengan sastra dan teater?

Melani menilai ini adalah kemunduran dalam arti kemanusiaan, artinya kemunduran dari cara memahami manusi atau kemunduran dari keterbukaan. Kalau itu dilakukan ia mengatakan bisa saja Indonesia akan kehilangan Didi Nini Thowok. Padahal satu tugas budayawan, sastrawan adalah kemampuan untuk berpikir kritis. Tidak sekadar mengamini yang ada tapi menyuarakan.

Bahkan untuk jurnalisme investigasi yang tidak diperkenankan. Lantas bagaimana bangsa ini jika tidak diperbolehkan  untuk berpikir kritis. Kalau sampai draft RUU Penyiaran ini disahkan maka akan jadi manusia seperti apa? Ia menyebut tugasnya sebagai seorang dosen adalah bagaimana membuat mahasiswanya mengkritik dirinya.

Draft RUU Penyiaran dilihat dari perspektif seorang Gusdurian, Aan Anshori, dosen dan Gusdurian mengemukakan bahwa kita hendaknya mengampuni negara ini. Begitulah ia membuka diskusi, "Jangan terlalu keras dengan negara ini,"ujar Aan.

Lantas ia melihat dalam perspektif Islam, ia diyakinkan bahwa Islam itu menjaga akal.  Menjaga akal dalam diskursus islam : islam menjaga kelogikaan berpikir jadi draft RUU ini harus ditolak karena menabrak Hak Asasi Manusia (HAM), juga menabrak untuk syariah. Menurutnya syariah hadir untuk menabrak kewarasan

Aan menambahkan jika anak-anak Indonesia tidak boleh belajar tentang gender, mereka jadi tidak waras. Draft RUU ini menurutnya  sangat berbahaya, oleh sebab itu harus ditolak.Jika  hukum menghamba pada ideologi yang paling besar, maka tergantung pada eksekutif dan legislatif yakni para pemilik modal itu sendiri. Sehingga kalau negara Indonesia mau selaras dengan Pancasila, ini harus diperbaiki. Draft RUU ini walaupun masih berwujud draft, menurutnya adalah wujud dari ketakutan orang-orang selama ini yang berbuat jahat. Kalau jurnalisme investigasi tidak boleh, lantas bagaimana dengan salah satu pesantren di Jombang yang setahun lalu dihajar oleh jurnalis dengan jurnalistik investigasinya. Jika draft RUU disahkan menurut Aan berpengaruh pada  kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Dan bahayanya adalah perlindungan kepada perempuan akan makin jauh dari harapan.

 

Draft RUU dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM dalam perspektif HAM menyoroti draft RUU Penyiaran dengan merespon bahwa Komnas HAM tahu  2020 melakukan survey  bahwa 36,2 persen warga Indonesia tidak bebas dan aman. Saat itu Indonesia belum mempunyai Undang-undang Cipta Karya dan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya bisa dibayangkan kalau draft ini sampai menjadi Undang-undang maka akan semakin tertinggal masyarakat Indonesia dan semakin merasa tidak bebas. Padahal hak berpendapat dan kebebasan adalah hak asasi manusia.

 

Komnas HAM telah mengeluarkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) meliputi 12 hak salah satunya  mencakup hak berekspresi.Jadi hak-hak tersebut tercakup dalam hak fundamental. Draft RUU ini tentu ini ancaman bukan hanya kepada pers saja tetapi menyangkut hak warga negara. Apalagi dalam konteks hak informasi publik di Indonesia selama ini yang menyediakan adalah Pers. Kalau teman jurnalis  tidak melakukan  investigasi maka tidak mendapatkan berita kredibel dan valid.

Komnas HAM  telah selesai melakukan kajian dan butuh pandangan dari 9 komisioner  bahwa RUU ini sangat berbahaya menyangkut fundamental rights. Di pasal 50 ayat 3 ada sanksi administrasi terkait investigasi yang tidak boleh tayang, narasumber tidak boleh diundang lagi  yang ini adalah ranah Dewan Pers.

"Sekali lagi kita dalam situasi berbahaya. Jangan sampai draft RUU ini melaju jadi UU," pungkas Anis.

Senada dengan Anis, Andy Yentriyani  membicarakan tentang living law seperti KUHP, apakah justru akan merugikan kelompok lain? Juga terkait phobia pada minoritas gender dan seksualitas sebagai pihak yang dianggap melanggar nilai kesopanan dan kepantasan. Mereka (para penyusun draft) tidak membicarakan lebih terbuka atau pada penghormatan yang harusnya jadi HAM bagi kelompok ini.

Di pasal 10 disebutkan sebelum ada aturan ini, ada prasyarat  anggota KPI : penjelasan tidak "tercela" itu apa penjelasannya. "Tercela" dalam pandangan siapa? Dan dalam nilai kesusilaan siapa? Ditambah syarat dengan seseorang tidak alami penyimpangan dan perilaku seksual. Ini phobia yang luar biasa yang diejawantahkan. Jika  benar maka ini adalah aturan pertama lembaga negara yang melakukan diskriminasi orang dalam keberagaman  seksual.

Menurut Andy  jika yang dimaksudkan penyimpangan itu ditujukan untuk orientasi seksual sesama jenis? Lalu bagaimana seseorang yang berumah tangga dan dia mengalami pula orientasi seksual yang berbeda?

Hal terakhir yang ingin disampaikan oleh Andy adalah soal kepemimpinan perempuan. Dalam draft RUU ini banyak menegaskan prestasi perempuan tapi banyak politically  correct  ditunjukkan dengan isu penghapusan kekerasan. Andy menutup dialognya dengan menyatakan bahwa saat ini Komnas Perempuan  sedang menyusun masukan kepada DPR RI. (Ast)