Buletin

Pagelaran Wayang Kampung Sebelah Sentil Isu HAM dari Pendidikan, Agraria, hingga PSN

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ratusan pasang mata menatap ke atas panggung Wayang Kampung Sebelah (WKS) pada Sabtu malam, 14/12 di Lapangan Segitiga, Kerten, Laweyan. Surakarta. Tak hanya ditonton oleh masyarakat sekitar, helatan Yayasan Yaphi dalam rangka penutupan Hari HAM sebagai rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) dengan mendatangkan masyarakat petani yang didampinginya yakni dari Sambirejo Sragen, Paranggupito Wonogiri, masyarakat Porang Paring, serta masyarakat jaringan seperti KOMPAK, Jaringan Peduli Sungai Juwana (Jampisawan), Jaringan Visi Solo Inklusi, Forum Peduli Kebenaran dan Keadian Sambirejo (FPKKS), Komasipera, JPPAS, MPPS dan lainnya.

Membuka perkenalan bahwa Wayang Kampung Sebelah didirikan sejak tahun 2001, Ki Jlitheng Suparman mengatakan jika yang dibawakannya adalah cerita-cerita masa sekarang. Dia mengajak segenap penonton untuk turut berinteraksi sebab dialog bukan otoritas semata-mata milik dalang, jadi penonton  juga bisa ikut menimpali, ikut nimbrung dalam dialog. Istilah dalam bahasa Jawa bisa ikut “Mbajongi”. “Boleh naik ke panggung ke sini. Nanti gojegan karena sampai terakhir kita akan bercanda,”kata Ki Jlitheng.

Mengawali pagelaran dengan mengemukakan Pancasila dasar negara, landasan sistem Indonesia, jangan salah memberi makna agar rakyat tidak sengsara. Ki Jlitheng menyindir, “Tetanggaku jadi presiden aku merasa itu jadi begini aku. Bergaya agar tampak keren tetap saja aku hanya pengamen. Tetanggaku ada yang politisi. Dia mengaku wakil rakyat sejati hidupnya mewah dan bergengsi, tapi hidupku melarat setengah mati. Tetanggaku ada  yang jadi gubernur, aku bersyukur harap bisa ikut makmur. Tetapi malah rumahku digusur, rumah digusur. Aku pun rela demi pembangunan bangsa negara aku bisa tidur tapi di jalan raya, baru tidur lalu disuruh pulang ke desa. Pulang ke desa jadi petani. Menyewa sawah menanam padi. Untuk modal hutang bank negeri, jaminannya sertifikat, berseri, masa depan telah menanti. Waktu panen tinggal esok hari, tikus menyerang, dan menyerah."

Setelah memperkenalkan Yayasan Yaphi, lembaga non profit yang sampai hari ini masih setia melayani masyarakat untuk mencapai keadilan hukum, Ki Dalang kemudian menjabarkan bahwa setiap tanggal 10 Desember seluruh dunia merayakan hari Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia ini sebenarnya merupakan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Jadi sebuah tujuan kecil justru Hak Asasi Manusia ini adalah tujuan besar target utama dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Di situ sebenarnya hakikat atau filosofi dari Hak Asasi Manusia tercantum di alinea ke-4 melindungi segenap bangsa Indonesia.

“Merupakan kewajiban negara melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, kemudian memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, itulah cita-cita proklamasi. Maka kalau masih ada rakyat yang masih miskin, itu berarti cita-cita belum terselesaikan. Kalau masih ada rakyat yang hidupnya teraniaya berarti hukum belum ditegakkan. Yang hidupnya masih tertekan berarti negara belum melindungi kehidupan petani, hak  asasi manusia belum ditegakkan sepenuhnya di negara Republik Indonesia. Maka sekarang harus menggugah kesadaran rakyat karena mau tidak mau yang harus berjuang adalah semua para rakyat.”

 

Sentilan tentang Kapitalisasi Pendidikan

Soal pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, kemudian terucap dalam kata-kata sebagai manifestasi kekritisan dalang dengan mengatakan bahwa saat ini ada upaya  mengkapitalisasi dunia pendidikan yang artinya sebenarnya negara sudah mencabut hak-hak kecerdasan bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal seharusnya negara yang bertanggung jawab bagaimana supaya seluruh rakyat ini bisa sekolah. Kalau masih ada rakyat yang tidak memperoleh kesempatan untuk menempuh sekolah, sampai perkuliahan, itu tetap bagaimanapun yang salah negara. Artinya negara belum mampu melayani rakyat, belum mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

“Ojo kok senang dipameri bansos,  dipameri bantuan ini dan itu serta bantuan lain, itu semua sebenarnya juga hak bagi rakyat. Nah, sekarang perlu diketahui Bapak Ibu jadi yang disebut hak itu apa sih? Nah, kalau ini saya akan mengutip  para ahli bahwa hak bukanlah apa yang diberikan seseorang kepadamu itu, tapi hak adalah apa yang tidak dapat diambil oleh siapapun darimu. Jadi hak kesejahteraan itu bukan pemberian negara. Bukan. Tapi ini milik seluruh rakyat, jadi ketika rakyat menuntut hak kesejahteraan, itu bukan kok rakyat minta belas kasih negara, justru rakyat minta pertanggungjawaban negaranya, yang harus memberikan hak-hak rakyat. Nah, itu ojo keliru kok pejabat ngasih Bansos. Wah, ini pejabat yang baik hati, perhatian pada rakyat. Harus kita cerdaskan itu, hak sampeyan, jangan merasa dikasihani, jangan merasa mendapatkan balas budi dari para pejabat-pejabat brengsek itu.”

 

Kritikan Pedas tentang Proyek Strategis Nasional

Seiring dengan isu agraria yang saat ini tengah diperjuangkan oleh Yayasan Yaphi,  pagelaran WKS yang juga didominasi dengan pagelaran musik pop dengan syair lagu-lagu yang menggelitik, mengkritik nan simbolik menampilkan cerita dengan lakon “Tergusur di Bawah Panji Adil Makmur” dengan tokoh Pak Lurah, Juragan Bedor, Siti, Linmas, Parjo dan Pengamen.  Isu adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) dikemas dengan sangat bagus dalam cerita tentang cukong-cukong tanah yang  memperjualkan tanah dengan harga selangit untuk mencari keuntungan sendiri,  dijadikan sasaran PSN, dan yang bermain di situ adalah Pak Lurah.

Ini seperti menunjukkan kepada rakyat bahwa demikian kencangnya cengkeraman para oligarki yang bersatu dengan para penguasa sehingga masyarakat tertindas. Mereka yang melakukan kritik dan melawan kemudian dikriminalisasi. Mereka yang menolak kemudian distigma sebagai pembangkang yang tidak menunjang program.

Maka tidak berlebihan ketika Dalang Ki Jlitheng Suparman menutup pagelaran dengan memberi wewarah “Kita Ingatkan sekali lagi, mari kita ingatkan negara ini, didirikan untuk apa negara ini, didirikan untuk memenuhi kepentingan seluruh bangsa inilah pemilik negara bangsa. Inilah yang memegang kedaulatan negara penyelenggara negara itu hanyalah alat kepanjangan tangan dari penguasa, maka harus sadar kalau kemudian penyelenggara negara merasa menjadi tuan. Di situlah awal dari kerusakan negara ini dan terutama ujungnya adanya  kapitalisme gaya baru.  Ini imperialisme gaya baru. Kita terjajah kembali dengan cara baru. Maka penyelenggara negara yang harus sadar. Akankah ini diteruskan, kalau pembenturan antara aparat dan rakyat bukannya saling menjaga, saling melindungi, malah saling berbenturan. Saya khawatir kalau negara tidak akan sadar, bukan Indonesia emas yang akan diraih tetapi Indonesia cemas, bahkan Indonesia lemas,”tegas Ki Jlitheng. (Astuti)