Berdasarkan Catahu Komnas perempuan, kasus kekerasan terbanyak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yakni 61,1 persen atau sebanyak 14.540 perempuan menjadi korban KDRT ( catatan hingga akhir November). Padahal sudah ada kebijakan yang sudah mengatur yakni Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
World Health Organization (WHO) menerangkan bahwa kekerasan merupakan penggunaan kekuatan fisik serta kekuasaan, ancaman maupun tindakan pada diri sendiri, perorangan, atau sekelompok orang yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, maupun perampasan hak.
Seperti dikatakan oleh Sisca Efnita, M.Psi, Psikolog, pada seminar yang dihelat oleh Yayasan Yaphi bekerja sama dengan Komunitas Masyarakat Sipil Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (Komasipera), sebuah jaringan dari para pegiat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI, Selasa (3/12/2024), bahwa penelantaran terhadap anak juga merupakan kekerasan, bahkan anak yang ditinggal beberapa hari oleh orangtuanya untuk tamasya hal itu bisa jadi penelantaran. Ia juga menjelaskan tentang kekerasan seksual di ranah publik, bahkan di kantor. Untuk hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang didalamnya memuat sembilan jenis kekerasan seksual di antaranya adalah penghinaan seksual (Catcalling), eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Sisca yang menjelaskan mengenai kekerasan cyber yang sekarang marak dilakukan seperti penyebaran video porno hingga cyber bullying. Ia juga menceritakan salah satu kasus yang ditangani yang terjadi di aplikasi kencan, dimana melakukan Video Call Sex (VCV) dan dari pelaku melakukan perekaman untuk mengancam korban. Hal ini merupakan kekerasan cyber ketika dilakukan pengancaman untuk menyebarluaskan.
Ketika menjelaskan mengenai kekerasan terhadap anak di antaranya adalah kekerasan fisik yang terjadi pada anak yang dipicu oleh perilaku anak yang ngeyel dan malas. Kekerasan terhadap anak bisa diakibatkan karena orang tua yang melampiaskan terhadap anak. Jika anak mendapat kekerasan maka anak bisa rentan menjadi korban perundungan atau mungkin bisa menjadi pelaku. Dari sini penting untuk menjelaskan kepada anak mengerti mengenai bagian tubuhnya sendiri yang tidak boleh disentuh.
Menurut data di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), korban kekerasan lebih banyak terjadi kepada perempuan dibanding laki-laki. Selain itu, korban kekerasan lebih sering terjadi kepada anak daripada dewasa, dimana kasus kekerasan terhadap anak sering sekali mengenai kekerasan seksual.
Sedangkan kekerasan sering terjadi kepada perempuan, dengan kekerasan fisik, KDRT dan paling banyak adalah perselingkuhan dan faktor ekonomi, dimana salah satu dampak dari pinjaman online (pinjol), judi, bisa memberi dampak kekerasan.
Kekerasan seksual sering dilakukan oleh orang terdekat korban dan ketika anak menjadi korban kekerasan seksual, maka kemungkinan besar akan menjadi pelaku kekerasan. Dan mengenai dampak-dam[ak kekerasan pada perempuan dan anak adalah : trauma, depresi, paranoid, merasa tidak berdaya, takut, cemas, sering mimpi buruk, korban kekerasan seksual merasa malu, memiliki gambaran diri yang buruk, pergaulan bebas, dan kecanduan alkohol serta obat-obatan.
Lantas ada pertanyaan, kenapa kasus kekerasan tidak segera dilaporkan? Dan meskipun kasus sudah banyak namun jarang yang melapor. Hal itu karena korban percaya bahwa kejadian yang diterimanya adalah aib dan memalukan hingga mengguncang harga diri. Masih banyak korban yang ketergantungan dengan pelaku (seperti ibu rumah tangga). Ada juga korban yang terperangkap dalam ketakutan, rasa kasihan, sehingga ada harapan untuk pelaku bisa berubah.
Kemudian apa yang harus dilakukan oleh orang terdekat untuk mengetahui apa yang terjadi? Memperhatikan perubahan yang terjadi dari pola-pola kebiasaan seperti memperhatikan perubahan yang terjadi dari pola-pola kebiasaan, berhati-hati dalam menggali informasi. Hindari penghakiman (judgement terhadap korban seperti: melakukan hubungan karena mau sama mau). Jika dihakimi seperti itu, maka korban merasa sedih dan kemudian bisa membuat korban semakin terpuruk. Maka ada satu call center/hotline yang bisa dihubungi : 129, dan jika sudah parah bisa langsung konsultasi ke ahli.
Selama ini kebijakan pemerintah lebih kepada penanganan kekerasan bukan untuk pencegahannya. Padahal mencegah lebih baik dimana perlu untuk mengubah standar berpikir yang sekuler, dimana salah satunya adalah bisa mengubah pemikiran seperti materi karena biasanya yang membuat cekcok adalah terkait ekonomi (bukan semata-mata hanya materi saja), mengurangi menonton sajian pornografi agar tidak membuat naluri/fantasi-fantasi seksual, dan merubah pemikiran bahwa ada kebebasan untuk berpenampilan. Perlu kembali pada perspektif ke tujuan penciptaan manusia dan kembali untuk memanusiakan manusia.
Anak Akan Membenci Orangtua yang Melakukan Kekerasan
Dokter. R. Prihandjojo Andri Putranto selaku narasumber kedua, menjelaskan mengapa orang melakukan kekerasan seksual dan bagaimana seksual yang sehat seperti anatomi fisiologi, identitas seksual lebih kepada pemikiran, orientasi seksual, dan sexual abused. Bahwa melakukan hubungan seksual akan dikatakan sebagai kekerasan seksual jika tidak ada agreement/consent dari kedua belah pihak.
Menyoal tentang menstruasi yang terjadi pada anak yang menginjak remaja, hal itu dipengaruhi dari makanan yang dikonsumsi oleh mereka. Ia juga menjelaskan bahwa adalah mitos jika menstruasi lebih cepat maka menopause lebih cepat. Ia juga memaparkan mengenai apa yang harus dilakukan oleh orang tua, yakni memberi tahu bahwa anak perlu mencuci celana dalamnya sendiri agar mengetahui ada flek/keputihannya.
Ia juga menjelaskan bahwa organ reproduksi yang paling kuat adalah otak karena semua dimulai dari otak dan mengenai hormon laki-laki dan perempuan yakni ada estrogen dan testosteron. Menurut dr. Andri otak yang terpapar pornografi beda dengan yang tidak terpapar. Juga otak yang alami depresi dan tidak depresi. Dan penting baginya untuk menjelaskan terkait embriologi yang gennya dibawa oleh ayah maupun ibu. Juga bagaimana di fase tumbuh kembang anak yang berpatokan kepada asuh, asah dan asih. Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan, bahkan jika anak melihat suatu kekerasan yang dilakukan oleh orangtua, maka anak akan membenci orangtuanya tersebut. (Renny Talitha/Astuti)