Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Karya Clifford Geertz

Penilaian: 4 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Buku ini merupakan hasil studi penelitian Clifford Geertz dalam rentang waktu Mei 1953-September 1954, di daerah Mojokuto, Jawa Timur.

 

Karya ini menjadi menarik karena mencakup berbagai dimensi yaitu antropologi, sosiologi, dan politik, Semakin menarik karena menggambarkan bagaimana hubungan antara agama dan perilaku politik di Jawa pada waktu itu.

Pada bagian pendahuluan buku ini, dijelaskan mengenai deskripsi geografis dan demografis daerah Mojokuto yang menjadi tempat dimana penelitian ini dilangsungkan. Wilayah ini merupakan wilayah yang kompleks, memiliki populasi penduduk sekitar 20.000 orang, terdiri dari 18.000 orang Jawa, 1.800 orang china dan selebihnya terdiri atas etnis Arab, India dan minoritas lainnya. 
Lalu Geertz mengemukakan urgensi dari tiga struktur sosial di Jawa yaitu desa, pasa dan birokrasi pemerintahan.

Sebenarnya buku yang ditulis oleh Geertz ini tidak membahas mengenai definisi agama, hal ini sudah barang tentu membawa pembaca sedikit kebingungan, karena sebenarnya jelas dari judulnya Geertz seolah menulis mengenai santri, abangan dan priyayi yang jelas sekali berkaitan dengan kehidupan dalam umat islam.

Ketiga elemen yang dibahas merupakan suatu fenomena keagamaan yang sedikit atau banyak tergantung kepada pemahaman seseorang tentang apa itu agama dalam manifestasi empirisnya. 
Kekurangcermatan dalam mengangkat definisi keagamaan akan berakibat kepada karakteristik tipologi-tipologi sehingga memberikan gambaran yang keliru tentang fakta-faktanya. Seperti yang ditunjukkan dalam bagian-bagian di bawah ini.

Sistem keagamaan yang umum di Jawa diperkenalkan tanpa disertai penjelasan tentang apa yang dimaksud mengenai sistem keagamaan tersebut. Hal ini dengan sendirinya membawa kepada pemahaman bahwa studi ini tidak membahas agama di Jawa, akan tetapi mengenai agama di Mojokuto yang meliputi kurang lebih dari 0,05% dari seluruh penduduk Jawa. Maka jelaslah apakah sistem keagamaan yang dimaksud oleh Geertz di Jawa itu dengan mengacu kepada sistem keagamaan pada penduduk asli di Mojokuto, maka jika demikian akan muncul suatu deskripsi mengenai agama-agama dengan versi yang ada di daerah setempat, yaitu islam, Protestan (di Mojokuto terdapat jemaat Protestan yang kecil), Katolik (di Mojokuto kebanyakan Katolik adalah orang China, namun ada juga sebagian kecil Katolik Jawa), agama Jawa, animisme, dan mungkin pula dengan Hindu dan Budha, walau tidak dijumpai dalam bentuk-bentuk yang asli. Studi ini tidak menyebutkan tentang agama-agama selain Islam, sehingga ini bisa dianggap sebagai petunjuk bahwa sistem keagamaan yang umum di Jawa itu tidaklah dimaksudkan kepada semua agama yang dianut oleh semua orang Jawa. Akan tetapi sebagai manifestasi dari agama Islam dalam penduduk Jawa yang tidak semuanya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

 

Varian Agama dalam Studi Clifford Geertz

Konsep yang diperkenalkan oleh Geertz untuk melukiskan dan menganalisa tipe budaya utama sesuai dengan menurut kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik mereka maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

Varian abangan, yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa penduduk. 
Varian santri, yang menekankan aspek-aspek islam sinkretisme itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang (dan juga unsur-unsur tertentu pada kaum tani). 
Varian priyayi, yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi. (Geertz 1960: 6)

Menurut Geertz pembagian ini merupakan pembagian yang dibuat oleh orang-orang Jawa sendiri. 
Namun demikian, meskipun memang benar dalam masyarakat Mojokuto sebagian dari penduduk dianggap sebagai abangan, santri dan priyayi, hanya saja ini tidak berarti bahwa ketiga golongan itu merupakan kategori-kategori dari satu tipe klasifikasi.

Kemudian penulis membatasi klasifikasinya dengan menyatakan bahwa istilah-istilah abangan, santri, dan priyayi menunjukkan dimensi-dimensi variasi kebudayaan, bukan kategori absolute (Geertz: 347). 

Geertz tidak menegaskan apakah ia hendak melukiskan kompleks-kompleks kepercayaan dan ritual keagamaan tertentu ataukah kepercayaan–kepercayaan dan ritual-ritual keagamaan kategori-kategori tertentu dalam masyarakat.

Agama Harus Dibedakan dengan Adat

Dalam mempelajari gejala agama dalam masyarakat Indonesia, maka harus menyadari bahwa ada perbedaan antara adat, ataupun sistem normatif tradisional, dan agama dalam artinya yang luas sekalipun. Pola perilaku penduduk di Indonesia sangat ditentukan oleh norma-norma tradisional yang diakui dan dipatuhi, inilah yang dikenal dengan sebutan adat. Adat suatu masyarakat setempat biasanya diteruskan secara lisan kepada anggota-anggotanya oleh generasi terdahulu.

Di Mojokuto adat penduduknya adalah adat Jawa, dengan beberapa variasi setempat. 
Perbedaan antara adat dan agama apabila tidak disadari oleh orang yang sedang memperdalam pengetahuannya tentang agama, mengakibatkan penafsiran-penfasiran yang keliru terhadap fenomena-fenomena empiris tertentu. Kenyataan bahwa seseorang memperlihatkan sikap menahan diri, menguasai diri, tidak menunjukkan emosi, mungkin ditafsirkan dengan mengacu kepada agama sebagai petunjuk adanya kekuatan batin. Meskipun penafsiran ini kemungkinan benar, namun ada pula kemungkinan bahwa orang yang bersangkutan hanya mematuhi adat yang berlaku di situasi di mana ia berada dan dengan statusnya sendiri.

Agama yang berbeda dengan adat dapat diartikan sebagaai suatu sistem kepercayaan saja. Kompleks-kompleks nilai dan norma tertentu dapat mempunyai kaitan dengan satu agama tertentu, akan tetapi tidak merupakan inti dari agama itu yang adalah kepercayaan terhadap hal yang gaib. 
Sebagain besar dari studi Geertz merupakan satu laporan mengenai deskripsi tentang adat dan bukan mengenai agama.

Ritual selamatan misalnya dijelaskan dalam empat bab informative. Jenis-jenis selamatan ini dijelaskan secara terperinci dalam kaitannya dalam maksud dan ritual tertentu. Hanya saja bentuk antara adat dengan agama tidak dibendakan padahal selamatan tidak harus melibatkan agama sebagai kepercayaan.

Geertz dalam menjelaskan laporannya hanya untuk memenuhi ketentuan adat oleh karena dalam keadaan-keadaan tertentu orang diharapkan untuk mengadakan upacara-upacara tertentu. Dengan cara itu beberapa ritual selamatan yang tadinya bersifat keagamaan telah menjadi selamatan adat. Sebagai upacara adat ia dapat diselenggarakan dengan berbagai tujuan seperti untuk mempererat kesetiakawanan kelompok, untuk menyebarkan kabar gembira, untuk memperoleh legitimasi bagi usaha-usaha tertentu, untuk menggunakan pengaruh, atau hanya memamerkan kekayaan untuk menambah gengsi. 

Selamatan yang dilukiskan oleh Geertz dijelaskan secara rinci tanpa ada tekanan yang memadai kepada makna keagamaannya. 

Misalnya dalam selamatan sunatan dapat dikemukakan sebagai contoh. Peristiwa itu Geertz melukiskan sebagai ritus pubertas. padahal seharusnya, di pulau Jawa, sunatan dianggap sebagai suatu pengukuhan seorang muslim yang sah. Sunatan bisa dilangsungkan dengan atau tanpa selamatan, akan tetapi selama seseorang belum disunat dia tidak dianggap tergolong dalam umat atau komunitas orang-orang yang percaya. Ketentuan ini juga berlaku bagi orang-orang dewasa yang masuk Islam.

 
Varian Agama Abangan 

Tradisi agama abangan yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan selamatan, satu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung, dan ilmu gaib diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa Jawa (Geertz 1960: 5) 

Varian abangan menurut Geertz adalah masyarakat kaum tani di Jawa. Yang abangan itu adalah kaum tani Jawa. Agama abangan menggambarkan sintesa petani antara hal-hal yang berasal dari kota dan warisan kesukuan, satu sinkretisme sisa-sisa lama dari sejumlah sumber yang tersusun menjadi satu konglomerat untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang berjiwa sederhana. Yang menanam padi di teras-teras yang diairi (Geertz 1960: 229).

Varian Agama Santri

Deskripsi yang terperinci mengenai varian santri menurut Geertz adalah sebagai berikut: 
Ia dimanifestasikan dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur, ritual-ritual pokok agama Islam, seperti kewajiban shalat lima kali sehari, shalat Jumat di masjid, berpuasa selama bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke Mekah. Ia dimanifestasikan dalam satu kompleks organisasi-organsisasi sosial, amal, dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Nilai-nilainya bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter. Orang-orang santri sendiri hidup berkelompok-kelompok, sekarang hal itu sudah berkurang dibandingkan dengan sebelum perang, namun masih tampak juga pengelompokan-pengelompokan mereka. Dan akhirnya ketaatan melakukan ibadah shalatlah yang pada tingkat tertentu merupakan ukuran santri. Priyayi dan abangan hampir tidak pernah melakukannya. (Geertz 1960: 215)

Varian santri ini dimanifestasikan sebagai pedagang.

Di desa terdapat unsur santri yang kuat, yang seringkali dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekah dan setelah kembali mendirikan pesantren-pesantren (Geertz 1960: 5) 
Kemudian, menurut geertz untuk santri di kota diidentifikasikan sebagai berikut: 
Di kota kebanyakan santri adalah pedagang atau tukang, terutama penjahit (Geertz 1960: 222) 

Varian Agama Priyai

Geertz berasumsi bahwa kaum priyayi kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang disebut sebagai varian agama priyai dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa. 
Geertz melukiskan mereka sebagai satu golongan pegawai birokrasi yang menurut tempat tinggal mereka, merupakan penduduk kota. Mereka memiliki gelar-gelar kehormatan yang merupakan bagian dari birokrasi aristokrasi kraton.

Apresiasi untuk Geertz

Tidak bisa disangkal, Clifford   Geertz sangat mempengaruhi pemikiran banyak orang tentang budaya. Geertz menggambarkan bagaimana simbol-simbol memengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Sebenarnya, manusia ditentukan oleh budaya-budaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia. Budaya dan manusia dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’, yaitu sebuah konsep yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu juga bisa dijelaskan dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L. Berger & Thomas Luckmann:

a. Kebudayaan dibentuk oleh manusia;

b. Manusia dibentuk oleh kebudayaan;

c. Kebudayaan menjalani hidup sendiri.

Dari ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk diproduksikan dan direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga dapat memengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan menambahkan nilai dan norma, meskipun akan menghadapi struktur-struktur yang tidak dapat diubah dengan mudah.

Kaitannya dengan “trikotomi” yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The Religion of Java, karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi istilah-istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.

Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial.

Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi.

Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa karena pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau priyayi yang santri.

Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula,  kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, di mana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen.

Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu “dibangun.”

Kritik terhadap Geertz

Clifford Geertz dalam deskripsinya seakan menjustifikasi bahwa kaum abangan, santri maupun priyayi adalah golongan-golongan dari apa yang telah disebutkan sebelumnya. Padahal dalam kehidupan realitas sehari-hari tidak selalu semuanya demikian. Seharusnya dilakukan deskripsi secara menyeluruh. Selain itu deskripsi agama yang dilakukan oleh Geertz cenderung untuk menjelaskan realita keagamaan dalam masyarakat Mojokuto dan bukan merupakan cerminan keseluruhan dalam tradisi keagamaan maupun adat masyarakat Jawa. (Adi Cahyaning Kristiyanto)

 

 

Sumber :

1.       Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa – Clifford Geertz

2.       https://republika.co.id/berita/ph1uvb385/santri-dan-abangan-varian-keagamaan-orang-jawa

3.       https://santrikeren.wordpress.com/sosial-politik/kategrisasi-masyarakt-jawa-santri-abangan-dan-priyayi-2/

4.       http://banyubeningku.blogspot.com/2011/04/clifford-geertz-dan-agama-jawa-abangan.html