Yayasan YAPHI Fasilitasi Diskusi Status Tanah Desa Sambirejo Bersama FPKKS

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Selasa (13/10), Yayasan YAPHI memfasilitasi diskusi bersama Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS) di rumah Narji, biasa dipanggil Mbah Narji, ketua FPKKS.  Dan dalam penggalian data sejarah, diskusi difasilitasi oleh Maria Rita Roewiastoeti, dari Dewan Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI yang mendengarkan cerita empat orang sesepuh, yang umurnya lebih tua dari Mbah Narji : Mbah Cip (86), Mbah Parto (90), Mbah Darmo dan  Mbah Harto. Mereka mengatakan bahwa perkebunan sekarang sedang ditanami jagung. Menurutnya tanah itu dirampas oleh PTP tahun 1966 tetapi keluar Hak Guna Usaha (HGU) mulai tahun 1982.

Jadi mulai tahun 1966 sampai 2006 tanah itu dikuasai oleh negara, begitu menurut penuturan Mbah Narji. Setelah terbitnya HGU, Mbah Harto dan kawan-kawan ke kanwil Semarang, selanjutnya orang-orang PTP merusak rumah Mbah Narji. Anggota komunitas menebangi karet-karet sehingga pada rusak. Kemudian mereka bisa menguasai tanah tersebut.

Maria Rita Roewiastoeti dalam prolognya menceritakan bahwa HGU Perkebunan tidak hanya terjadi di Desa Sambirejo saja, namun juga terjadi di Malang Selatan. Di perkebunan teh, tuan-tuan Belanda awal tahun 1900 dengan mengundang para pemilik modal yakni pada tahun 1870 mengeluarkan peraturan hukum yang seolah-olah tidak ada manusia dan hanya tanah kosong. Banyak pemilik mendirikan perkebunan teh dan kopi dan buruh-buruh berasal dari -orang-orang sekitar situ.

Maria Rita Roewiastoeti membandingkan yang terjadi di Malang Selatan. Para orang-orang Madura datang ke Jawa Timur pada tahun 1900. Mereka bekerja sebagai kuli kontrak. Kemudian pada tahun 1954 terjadi nasionalisasi perkebunan dan tuan-tuan Belanda disuruh pulang, kemudian diambil alih Indonesia. Menurut undang-undang, para pemilik modal harus membayar pesangon, ada peraturan khusus. Kalau disangoni, kerja sudah puluhan tahun, maka harus pulang tetapi mereka memilih punya anak dan mbabat kebun. Ada permendagri tahun 1953 bahwa bekas perkebunan yang sudah jadi kampung, tidak boleh jadi perkebunan lagi, namun untuk kemanusiaan.

Mbah Narji kemudian bercerita bahwa tahun 1926 ada tanah yang berstatus Komplet, dapat dari Belanda saat itu. Kemudian pada tahun 1954 Belanda pergi, rakyat miskin menebangi kebun lalu mulailah ditanami oleh rakyat. Namun sebelum ada Komplet, Belanda menanami dengan nanas, dan ada pabrik serat nanas.

Cerita Mbah Narji dikuatkan oleh Remin Cipto Wiyono (86) atau biasa dipanggil Mbah Cip. Bahwa sebelum ada komplet, maka masih hutan liar atau tanah gledek. Tanah gledek itu kalau tidak bisa membayar pajak maka harus dikembalikan.  Setelah merdeka maka yang seperempat diwujudkan dalam bentuk rumah, yang tiga perempat dalam bentuk sawah. Warga diberi dua hektar. Ada pabrik serat nanas di Blimbing, Kemudian serat nanas dibakar oleh warga, dibumihanguskan. Lalu jadi tegal, warga menanam jagung dan singkong. Lama-lama pemerintah bikin aturan, melakukan permohonan ke gubernur di Semarang. Setelah dibumihanguskan kemudian rakyat memohon kepada gubernur supaya dibangunkan rumah yang layak untuk tegalan. 

Pemerintah punya aturan yang sudah menikah diberi seperempat hektar untuk pekarangan 2 hektar untuk sawah dan untuk pekarangan yang 2 hektar kemudian dicabut. Pemerintah lalu adakan sertifikat D, tanda belum hak milik, dan tidak diberi SPT atau kohir. Lalu kira-kira tahun  1964, setelah SK diminta ganti sertifikat. Sudah diukur oleh petugas dan sebelum tahun itu, tanah orangtua hanya kohir atau ipeda saja. Adanya sertifikat tahun 1973.

Kemudian meletus peristiwa 1965 lalu antar perkebunan Batu Jamus memperluas perkebunan. Masyarakat waktu itu pergi ke kelurahan dan dengan berani bertanya apakah dapat  atau tidak jatah tanah. 1 hektar itu 6500, kesimpulan dan praktiknya 1000: 4 jadi jawabnya 2500. Kemudian kalau begitu yang 5500 lari ke mana?

Ada istilah kuli kenceng dan kuli kendho. Kuli kenceng dapat pembagian tanah dan tinggal di Krajan, Kasunanan. Kalau kunci setengah tidak dapat sawah dan hanya rumah atau erp.Lalu pemerintah membagi-bagi. Dan yang disebut-sebut sebagai Tuan Welkers dari Belanda itu sesungguhnya adalah seorang administrator perkebunan saja. Pada tahun 1970 ada maklumat domaince claring atau domain negara yakni tanah-tanah yang tidak bisa dibuktikan milik negara adalah milik Belanda. Jadi bisa dibedakan, bahwa ini tanah swapraja, ini tanah government supaya government bisa disewakan,

Menurut Maria Rita Roewiastoeti, ada jenis wilayah di Kasunanan namanya Tanah Lungguh yang diberikan kepada pejabat dan digarap oleh kuli kenceng dan kuli kendho. Kuli kenceng menggarap sawah dan bagi hasilnya adalah setengah-setengah antara keluarga, bekel dan demang. Tanah akhirnya dilepaskan, dan para pegawai digaji saja dan Belanda menyewa tanah lungguh itu. Kemudian siapakah yang dapat tanah itu? Kuli kenceng yang handarbeni.

Sedangkan undang-undang tahun 1960 ada yang namanya pasal konversi, kalau handarbeni maka nanti akan mendapat sertifikat. Jadi kalau orangtuanya Mbah Narji, Mbah Cip, Mbah Darmo, Mbah Parto bekerja sebagai kuli kencengnya Belanda, maka PTP yang harus pergi. (Astuti)