Saman Poerba: “Dipaksa Membangun Waduk”

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Perawakannya kecil, bahkan bisa dikatakan kurus, selintas terlihat tak berdaya. Tetapi jangan tanya bila Anda ingin memperbincangkan pengalamannya tentang sepakterjang tentara orde baru ketika menangkapi para korban yang dituduh terlibat G30S PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sragen, mantan tahanan politik itu akan bertutur dengan jernih dan runtut.

Saman Poerba, 67 tahun, bapak tiga putra, mengaku tidak paham betul apa yang dituduhkan kepadanya sehingga ia diciduk tentara dari Korem (komando rayon militer) Sragen dan diinapkan di kantor tentara selama tiga bulan. Meski ia mengaku tidak pernah disiksa, saat berada di sel tahanan tentara, tetapi acap kali juga dijotosi tanpa sebab.

Apalagi, papar Poerba, kalau pekerjaan bersih-bersih kantor dan babat rumput dianggap tidak memenuhi kemauan pengawas, spatu lars sering mampir di tubuhnya. “Ujug-ujug digajul dari belakang, saat babat rumput. Paling banter ditempeleng. Kalau disiksa sampai babak-belur, belum pernah saya alami,” ujarnya ditemui di rumahnya, Pakis, Sragen, Rabu (25/1/2017).

Selama menjadi tahanan politik, Poerba sering pula diminta mengambar penjaga sel dan komandan jaga. Barangkali lantaran tubuhnya yang ringkih, ia lebih cekatan menorehkan water-peref —pewarna air— dibanding tahanan lain. Lagi pula, Poerba memang guru mengambar di SD.

Suatu ketika, kenang Perbo menuturkan pengalamannya, dirinya diminta mengambar wajah penjaga sel yang ditungguin tentara berpangkat Kopral. Nampaknya, wajah yang digambar sang kopral itu persis, menarik perhatian atasannya berpangkat Letnan. Gara-gara Poerba ogah-ogahan menggambar wajah sang kapten, ia menjadi sasaran empuk akan diselesaikan dalam waktu dekat. Benar saja, bukannya gambar wajah sang kapten dilukisnya, tapi Poerba malah dikirim ke Nusakambangan.

“Saya diharuskan mengambar duluan komandan jaga berpangkat kapten. Kerna gambar penjaga berpangkat kopral itu lebih dulu dan hampir selesai, jadi tetap ngambar wajah penjaga berpangkat kopral duluan. Saya enggak mau diselani. Karena sebab itu, saya jadi dibenci penjaga berpangkat kapten itu,” katanya, ‘Bulan depan kamu saya kirim,’ katanya menirukan acaman sang kapten.

Sebelum berpindah tempat tidur di alas Nusakambangan, Poerba menjadi salah satu tapol yang dipaksa kerjabakti babat-alas membuat jalan raya menuju Purwodadi. Kalau tidak salah terka, ujar dia mengingat-ingat, jalan yang dibangun bersama 40 tahanan asal Sragen dan Solo itu sekitar Gundhi ke arah barat.

“Sejak saat itu, saya tidak mau lagi menggambar. Sudah cukup. Sampai disitu saja kegiatan menggambar. Gambaran suram jelas terlihat ketika saya dengar, setelah selesai kerjabakti, akan dikirim. Entah di kirim kemana? Dalam benak saya terpikir, dimatiin,” ujar dia menerawang.

Benar saja, setelah program kerjabakti babat-alas membuat jalan rampung, Poerba diangkut menuju Cilacap naik truk tentara bersama pekerja lainnya. Perjalananan ke Cilacap dengan truk, selama 5 hari, hujan dan panas di atas truk tentara berpenutup terpal. Bisa dibayangkan, katanya, lima hari makan nasi bungkus dan mandi kalau ada sungai di tepi jalan. “Baunya seperti apa satu truck tentara yang diangkut ke Nusakambangan.”

Bukan hanya disuruh kerjabakti membuat jalan, sebelum diangkut ke Nusakambangan, Poerba juga diikutsertakan dalam barisan tapol penggali waduk Sukodono, selama berbulan-bulan. Poerba tidak mengerti alasan kenapa dia menjadi tapol dan dipaksa kerjabakti bangun jalan dan ngeduki waduk.

“Sungguh saya tidak tahu alasan kenapa saya diciduk. Katanya saya ikut dalam anggota Sobsi (solideritas organisasi buruh seluruh indonesia) yang menginduk ke kelompok kiri. Saya’kan kerjanya ngajar jadi guru sekolah dasar. Mereka memang gawur tenan.”