Lintas Berita

Peluncuran Buku Magdalena Sitorus, “Taburan Kebaikan di Antara Kejahatan”

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Setelah reformasi, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terus diperjuangkan oleh lembaga-lembaga. Mereka setia mendampingi dan upaya itu hampir 21 tahun. Ini bukanlah waktu yang pendek. Bukan pula jalan lurus namun terjal.  Kemudian yang menjadi persoalan adalah stigma. Hingga hari ini mereka menyebut diri sebagai penyintas, atas apa yang seringkali mereka alami seperti bola yang dilempar-lempar. Selama dua dasa warsa ini, rupanya banyak memberi warna.

Seperti yang disampaikan oleh Uchikowati dalam peluncuran buku karya Magdalena Sitorus "Taburan Kebaikan di Antara Kejahatan". Buku itu bercerita tentang kisah perjalanan dirinya dan keluarganya. Menurutnya, kejujuran para orangtua kemudian menjadi dasar sejarah. “Semakin lama saya semakin tidak lepas dari suara para korban. Peristiwa itu memaksa saya, adik saya dan anak-anak yang lain harus hidup dalam stigma,”ungkap Uchikowati, Jumat, (21/1)

Uchikowati berterima kasih kepada Magdalena yang telah mengulik kisah hidupnya dari kecil. Menurutnya, Magdalena bisa menceritakan dengan baik. Buku ini menggali ingatannya yang sudah terpendam 50 tahun lalu. Maka menurutnya,  jika buku ini hadir maka itulah hidupnya. Buku adalah alat alternatif untuk merawat ingatan. Harapannya ada anak muda yang mau membaca sejarah  apa pun tentang negara Indonesia. Ia juga berharap  agar buku ini mampu mempengaruhi kebijakan terhadap lansia. Harapan yang lain adalah supaya negara mampu menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Uchikowati berkeinginan kepada anak muda dan pegiat serta seniman supaya mereka ikut bersolidaritas.

Merindukan Pemerintahan yang Bebas Pelanggaran HAM

Magdalena Sitorus, penulis buku, bertutur bahwa ia merindukan satu pemerintahan yang bebas dari pelanggaran HAM. Ia juga menekankan bahwa dengan penulisan buku ini supaya ada gerakan perempuan menulis. Sebab kalau kisah perempuan ditulis oleh perempuan maka akan beda dengan kisah-kisah yang ada. Banyak kisah tentang pelanggaran berat HAM masa lalu ditulis, namun persentasenya banyak yang ditulis oleh laki-laki. Ia juga menegaskan bahwa buku ini adalah sejarah alternatif yang bisa dibaca oleh kaum muda.  

Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam sambutannya menyatakan bahwa isu pelanggaran HAM berat 65 adalah isu yang masih diperjuangkan termasuk isu pembela HAM dan juga isu perempuan  terkait kata Gerwani. Menurutnya, pada peristiwa pelanggaran HAM berat 65, semua  mengetahui bahwa itu peristiwa khas perempuan. Korbannya tidak hanya langsung tetapi juga keluarga  sehingga membuka diskusi lain apa itu korban dan apa itu keluarga korban. Ia berharap narasi yang berasal dari dua narsum dalam peluncuran buku ini akan ditemukan. Dalam proses mengambang ini adalah kesiapan saling menopang dan berbagi daya.

Andy menambahkan bahwa situasi di tengah situasi yang perkembangannya tidak gampang, tidak  mematikan ruang-ruang dan harus ada estafet. Melalui seni dan aktivis yang membudaya termasuk menyajikan narasi  tentang Uchikowati, baginya ini merupakan sebuah ruang baru lintas generasi dan lintas sektor. “Selangkah demi selangkah kecil. Saya yakini kita terus bergerak maju menghadirkan satu kita bersama hadir. Sehingga berani menatap dan mengakui kesalahan masa lalu. Memastikan tidak berulang terjadi dan menjadikan rasa keadilan hadir dan mewujud tanpa mengecilkan pengalaman  teman laki-laki,” pungkas Andy.

Artien Utrecht,  “Buku ini selain tebal juga banyak informasi”

Mengulang tulisan di atas, bahwa tujuan penulisan buku agar mudah dicerna dan mudah dirawat generasi muda, sehingga mudah bagi pendidikan generasi muda. Cara penyampaian dalam bentuk tulisan biografi memenuhi keunggulan karena mampu membawa sejarah di masanya kepada pembaca. Menurut Artien Utrecht, buku ini kisah nyata dalam keseharian, merupakan biografi yang komprehensif sebab yang tertulis tidak banyak di buku sejarah.

Para korban banyak yang melakukan gerilya. Lalu membangun negeri pasca kolonial seperti yang dikisahkan tentang  ayah Uchikowati. Pelukisan ruang space menyebut pra sarana ada di kota Kroya. Banyak dialog baik internal maupun antar orang. Buku ini menempatkan perempuan tidak hanya korban tetapi penyintas. Menceritakan keuletan perempuan, terutama perempuan penyintas yang  sering mengambil peran yang tidak biasa karena dipaksa keadaan. Salah satu cerita yakni tentang Uchikowati  dan mbah putri mempertahankan rumah agar tidak disita. Dan di saat-saat kritis banyak mendapat bantuan.

Artien menambahkan buku ini banyak bonus, baik dari korban lain dan keluarga penyintas lain, bukan hanya sejarah Uchikowati dan keluarganya. Buku ini nyata dan tidak diromantisir. Kesedihan, benturan merawat orangtua, kecemburuan, kecemasan dll. Cerita menyenangkan sebab ada kisah tragis dan lucu. “Buku yang mantap dan komprehensif,”pungkas Artien.

Livia Istania Iskandar dari LPSK menyampaikan pendapatnya bahwa  menulis jurnal itu spesialis. Pengakuan itu ada dan bisa diakses korban. Menurutnya memang masih banyak yang harus dilakukan. Lebih dari 4000 korban pelanggaran berat yang dibantu mendapat hak akses kesehatan hanya fisik  belum psikis. Masih banyak persoalan, psikolog yang dirujuk tidak punya perspektif pelanggaran HAM. “Kami di psikologi keluarga. Antar keluarga, ada pohon keluarga. Perempuan punya daya lenting dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang sulit,”jelas Livia.

Di akhir acara, satu pesan datang dari Kak Seto yang juga memberi endorse pada buku ini bahwa menurutnya anak-anak seperti aneka bunga di taman bunga. Tinggal bagaimana kita memberi kondisi pada tanahnya, subur atau tandus."Buku ini adalah pembelajaran bagi semua. Jangan sampai generasi muda melakukannya lagi misalnya pada yang orangtuanya teroris. Maka negara harus memenuhi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak anak," pungkasnya. []