Lintas Berita

Stigma dan Diskriminasi Bagi Penyandang Disabilitas itu Nyata Masih Ada

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Anni Aryani, seorang dosen dan peneliti di LPPM Universitas Sebelas Maret, lulusan University of Melbourne menyatakan bahwa di Indonesia masih ada gap antara penyandang disabilitas dan non disabilitas.  Terkait disabilitas, meski paradigma sudah berkembang menjadi peradigma sosial, namun belum meninggalkan sama sekali charity base. Belum lagi terkait diskriminasi dan stigma yang diperoleh oleh penyandang disabilitas bahwa mereka masih dianggap sebagai beban masyarakat. Demikian dikatakan Anni saat diskusi bulanan LPPM Universitas Sebelas Maret, Selasa (18/1).

Menurut Anni, terkait paradigma dan SDM, pemahaman masyarakat ‘normal’ atau non disabilitas terhadap permasalahan disabilitas di Indonesia masih sangat rendah. Ada empat orang tipe ini : 1. Orang yang paham tentang permasalahan disabilitas dan  mereka peduli, dan keberadaan mereka tidak/belum banyak, 2. Orang yang paham tentang permasalahan disabilitas dan mereka tidak peduli,3. Orang yang belum paham tetapi mereka mau peduli serta keempat adalah orang yang belum paham dan memang tidakn peduli.

Masih adanya stigma dan diskriminasi, serta perspektif yang menganggap bahwa penyandang disabilitas sebagai beban masyarakat, bahkan telah mempengaruhi akses pelayanan. Seperti yang diungkapkan oleh Anni saat mengurus e-KTP. Ketika ia mendatangi kecamatan setempat, ia sama sekali tidak dipandang. Ia dilayani setelah ‘sombong’ dulu dengan mengatakan bahwa ia seorang dosen dan saat itu petugas layanan memperhatikan kursi roda elektrik yang dipakainya. Mungkin karena kursi roda elektrik masih jarang yang menggunakannya, dan hanya penyandang disabilitas tertentu saja dan dianggap berduit, kemudian sang petugas melayaninya. Belum lagi misalnya terkait aksesibilitas layanan perbankan. Anni menambahkan bahwa lansia di Australia masuk dalam golongan penyandang disabilitas, mereka para senior  citizen itu aktif di beberapa bidang.

Anni mengingatkan bahwa untuk mengadvokasi hal-hal di atas perlu keterlibatan penyandang disabilitas. “Harus ada keterlibatan difabel, tapi orang yang terlibat masih sedikit,” ungkapnya. Menurutnya terkait paradigma, akesibilitas, infrastruktur dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia serta pendataan itu masalah yang masih menghadang di depan dalam mendorong isu disabilitas ini menjadi mainstream.

Prof. Tri Nuke Pudjiastuti dari LIPI, sekarang menjadi lembaga Badan Riset  dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga menjadi narasumber dalam diskusi dan pernah meneliti terkait kemiskinan menyatakan bahwa diperlukan sinergi dan kolaborasi. Ia melihat bahwa selama ini penelitian-penelitian yang dilakukan hanya untuk diterbitkan di jurnal, bukan untuk kemajuan dan pembangunan daerahnya. Ia menyentil bahwa masih banyak yang harus dikerjakan misalnya persyaratan-persyaratan dalam pencarian kerja difabel belum inklusif juga terkait pendidikan, menurutnya,  harusnya setiap sekolah di Indonesia adalah inklusif.

Prof. Nuke juga memberi apresiasi terhadap LPPM_UNS, bahwa ketika lembaga penelitian tidak memiliki kontribusi terhadap pembangunan Indonesia maka target makro pembangunan Indonesia tidak  tercapai maka riset harus memberi kebermanfaat bagi masyarakat. Ketika masih banyak lembaga yang egosentral yang kemudian menjadi masalah tersendiri maka apa yang dilakukan oleh Pusat Studi Difabel (PSD) dengan penelitian-penelitiannya menjadi salah satu champion di LPPM-UNS. (Astuti)